Ketika air rebusan di ketel mulai mendidih dengan suara gemuruh layaknya marching band tengah konser, mereka bergantian menyeduh air panas ke dalam tempat menyimpan mie instan ke dalam mangkuk jumbo masing-masing, yang ukurannya bisa membuat sup Tom Yum pun minder.
Mienya sudah terlebih dahulu masuk mangkuk, menanti air panas dengan pasrah seperti tahu akan nasibnya. Lima menit kemudian, air disaring, seremoni pengeringan yang khusyuk dan giliran bumbu unjuk gigi: minyak, kecap, dan bawang goreng tumpah ruah dalam piring pertempuran.
Aroma sedap menyeruak seisi ruangan, menyihir udara seperti semprotan parfum level sultan. Makanan legendaris anak kos ini sukses membangkitkan selera, terutama bagi Otong yang perutnya sudah memainkan drum solo sejak setengah jam lalu.
“Kita mulai!” seru Akbar, membuka babak makan malam dengan semangat seperti komando perang.
Dia menyendok mie tanpa ampun. Mienya masuk ke mulut lebar yang menurut mitos, menandakan pemiliknya bakal ketiban rezeki. Mitos atau tidak, yang jelas mie itu seperti ketemu jalan tol: lancar jaya.
Kelima sahabat ini makan dengan brutal namun bahagia. Tak sampai setengah jam, mie-mie itu raib dari mangkuk masing-masing. Ludes, bersih, seperti tak pernah ada kehidupan mie sebelumnya. Yang mengejutkan adalah... mie Otong habis duluan!
“Gila!” teriak Yanto, mulutnya masih penuh, matanya terbelalak. “Orang baru ini bukan cuma pecahkan rekorku, tapi kecepatan makannya mirip hiu ngamuk!”
Tawa meledak serempak.
“Makanya,” goda Tuber sambil nyengir lebar, “ingat pepatah, To: di atas langit masih ada langit. Jangan sok jago, bro!”
“Bukan sok,” balas Yanto sambil menyapu sisa mie di bibirnya. “Cuma kenyataan bahwa kalian belum pernah ngalahin aku. Sampai sekarang.”
Otong nyengir. “Aku cuma lapar, kok. Bukan berarti kuat makan,” ujarnya merendah.
“Lapar atau enggak, rekor kamu bakal susah dikalahkan sampai musim duren datang lagi,” kata Akbar sambil mengelus perut.
Untungnya, percakapan mereka terpotong oleh suara panggilan dari luar. Seseorang minta barang, membuat mereka langsung teringat sedang kerja. Apalagi, gerimis sepertinya sudah reda, menyebabkan para karyawan shift malam bermunculan seperti jamur usai hujan.
Tak lama kemudian, kepala bagian personalia, Pak Priyatno, nongol seperti NPC yang datang pas timingnya.
“Selamat malam, Pak!” sapa mereka serentak.
“Selamat malam,” balasnya. “Gimana, Tong? Betah kerja di sini?”
“Betah, Pak. Namanya juga kerja, ya kudu betah,” jawab Otong santai sambil senyum.
“Tumben malam-malam ke sini, Pak?” tanya Akbar penasaran.
“Nggak, cuma mau ajak Otong besok siang ke pasar ikan di Ketapang. Rencana mau masak-masak di rumah.”
“Mau, Tong?” tanyanya lagi sambil menatap penuh harap.
“Boleh, Pak. Bilang aja,” jawab Otong dengan polosnya, belum sadar akan sesuatu yang mencurigakan.
“Ya sudah. Besok ketuk aja pintu mess-ku. Pakai motor saya saja, ya.”