“Kamu yang bawa motor,” ujar Pak Priyatno, menyerahkan kunci seperti memberikan tanggung jawab negara.
“Kamu sajalah, Bro!” elak Otong sambil melipir seperti kepiting takut digoreng.
“Lho, kamu kan udah biasa?”
“Bro kan lebih familiar dengan motor ini, sedangkan saya walau pun biasa mendendarakan sepeda motor tidak pernah naik motor tinggi jenis ini. Biasanya bawa motor bebek atau matik,” sahut Otong, pasang wajah waswas.
Pak Priyatno menghela napas, menyerah. Ia naik motor, Otong duduk manis di boncengan, sok kalem padahal deg-degan.
Baru saja mereka melaju, sepeda motor itu sudah mengaung, sehingga tuduh Otong termundur ke belakang.
“Astaga, begini banget …”
“Pelan, Bang... jangan belok mendadak, aku belum siap mental.”
“Tenang. Ini bukan roller coaster.”
“Yah, tapi getarannya kayak naik traktor cinta!”
Motor pun melaju. Hati Otong ketinggalan di belakang seperti film Tom & Jery.
Keduanya melesat ke arah kota Ketapang, dengan misi mulia: berburu ikan laut segar untuk lauk makan siang mereka. Pak Priyatno memegang kendali sepeda motor, dan entah kenapa hari itu ia sedang merasa seperti pembalap MotoGP yang ketinggalan dua lap dari pemotor di depannya.
Angin menerpa wajah Otong yang duduk di boncengan. Jantungnya berdebar bukan karena cinta, tapi karena cemas. Setiap ada motor lewat, Pak Priyatno langsung mengejarnya lagi, seperti sedang balapan ala "Fast & Furious: Versi Jalanan Tropis".
“Koboy bener nih orang,” gumam Otong dalam hati sambil berpegangan erat pada jok, nyaris merangkul pinggang pak Priyatno.
Speedometer motor? Sudah lama pensiun. Tapi berdasarkan ilmu kira-kira dan tiupan angin yang membuat pipinya goyang-goyang seperti jeli, ia menaksir kecepatan mereka tidak kurang dari 110 kilometer per jam.
“Kawan, jangan lupa. Di rumah ada yang menunggu kita pulang dalam keadaan selamat,” ucapnya hati-hati, mencoba menyalurkan pesan damai dengan nada bijak.
“Siapa maksudmu? Adik iparku, itu?” balas Pak Priyatno setengah berteriak. Saking kerasnya, pengendara lain yang berdekatan langsung menoleh. Mungkin mereka mengira ini sinetron live di jalanan.
Otong melotot di belakang, “Busyet... Itu pula yang di sentil. “Ndak, kawan. Maksudku, pelan dikit lah. Kita bisa celaka.”
Tapi Priyatno malah cengar-cengir, “Nggak usah malu-malu. Malam ini pun kalau kamu mau nginap, boleh kok.”
Otong bengong. Dalam hatinya muncul pertanyaan, “Ini salah paham... atau memang sengaja disalah-pahami?”
“Waduh, kok jadi salah sambung, sih?” ujar Otong dengan suara meninggi.
“Ndak, ndak apa-apa. Barang itu juga, buat berkebun kan nggak bisa. Ya laki-laki juga yang harus ‘nanam’.” ujar Pak Priyatno sambil tertawa lep[as terbahak-bahak.
Otong mau nangis rasanya. “Bukan itu maksudku, Bro. Maksudku jangan terlalu ngebut, bahaya.”
“Aaah, kalau kamu memang sudah naksir adik iparku, bilang aja. Hahahaha!” tawa Pak Priyatno lagi meledak seperti knalpot bobokan.
Dalam hati, Otong mengeluh. Maksud hati mengingatkan demi keselamatan, malah ditanggapi macam obrolan di grup WA yang salah topik.
“Ndah, aah. Siapa juga yang mau rame-rame dalam satu lubang. Sorry!” gerutu Otong dalam hatinya.