Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #56

56-Seorang Ibu Kencing di Lantai Bus

 

Mau dimasak bagaimana, Bang?” tanya adik ipar pak Priyatno itu ramah.

“Aah, terserah lah. Digoreng kering juga tidak apa-apa,” ujar Otong agak ogah-ogahan.

Sialan benar kawan saya satu ini, omel Otong dalam hati, penuh geram namun masih bisa menahan diri. Karena dia selalu saja dipasangkan dengan adik ipar kawannya itu. Sudah seperti nasib yang sengaja dijodohkan oleh alam semesta, padahal Otong jelas-jelas tidak berminat.

Ini orang kayaknya enggak ada kerjaan lain selain jadi mak comblang! Gerutu Otong pelan sambil melirik kesal.

Otong memang bukan pria sembarangan. Bagi dia, kesetiaan itu bukan cuma kata-kata manis di novel picisan. Kesetiaan itu harga mati. Titik.

Dia sudah setengah mati mendapatkan Bavik. Perjuangannya tidak main-main. Pernah ditinggalkan, pernah ditolak, pernah dianggap angin lalu. Tapi dia bertahan. Dia mengejar. Dan ketika akhirnya Bavik mau menerimanya kembali, Otong bersumpah dalam hati: tidak akan ada lagi wanita yang lain dihatinya.

"Bavik sudah percaya padaku. Masa iya mau kuhancurkan itu dengan main mata sama adik ipar orang? Dosa kuadrat namanya," bisiknya lirih sambil menggelengkan kepala.

Hatinya memang sempat tergetar sedikit melihat gaya centil adik ipar itu yang kadang seperti sengaja bersolek lebih dari biasanya. Tapi setiap kali bayangan wajah Bavik melintas di benaknya, Otong langsung kembali sadar.

"Cinta itu bukan soal yang cantik dan genit. Tapi soal siapa yang rela berjalan bersamamu, meskipun dunia sedang jungkir balik," gumamnya penuh makna.

Otong tetap teguh pada pendiriannya. Biar seribu godaan datang seperti angin ribut di musim pancaroba, dia tetap berdiri seperti pohon beringin, tak tergoyahkan. Demi Bavik. Demi janji hatinya.

Dan jika kawannya itu masih saja mencoba-coba menjodohkannya lagi, Otong tidak akan terpengaruh.

Maka, dimulailah aksi dapur kolaboratif yang nyaris seperti acara masak-memasak di televisi. Otong dengan penuh semangat menyiangi ikan, membuang isi perutnya, dan membersihkannya seperti chef yang siap duel di MasterChef.

“Mau digoreng atau direbus?” tanya Otong sekali lagi untuk meyakinkan dirinya sambil mengelap tangannya.

“Digoreng saja, Bang Otong ,” jawab adik ipar Pak Priyatno sambil tersenyum, entah karena senang atau karena menyimpan niat lain.

Otong pun segera memotong-motong ikan itu dalam ukuran yang pas, supaya cepat matang dan tidak terlalu boros minyak. Sementara itu, si adik ipar sibuk meracik bumbu: bawang merah, putih, jahe, kunyit, dan tentu saja, perasan jeruk nipis untuk mengusir bau amis.

“Kalian berdua memang serasi sekali,” goda Pak Priyatno sambil menatap mereka bergantian seperti menonton sinetron romantis.

Adik iparnya langsung melempar senyum manis seperti model iklan pasta gigi. Otong ? Dia cuma nyengir kuda, lebih karena grogi ketimbang bahagia. Dalam hati dia gelisah, sebab sejak tadi wanita itu suka nempel-nempel dan menyentuh-nyentuh tangannya. Apalagi bagian atas tubuhnya yang... ya, terasa sangat 'tanpa penutup'.

Begitu masakan rampung, mereka makan bertiga. Tak ada meja makan, jadi melantai pun jadi. Tapi sialnya, adik ipar itu duduk tepat di hadapan Otong. Setiap dia bergerak, tank top-nya ikut tersibak, memperlihatkan panorama yang membuat jakun Otong naik-turun seperti elevator di mal.

Usai makan, Otong buru-buru pamit.

“Istirahat siang di sini saja,” tawar Pak Priyatno santai.

“Mohon maaf, Bro. Aku harus kerjakan sesuatu di mess.”

Lihat selengkapnya