Otong memutuskan untuk bermalam di losmen yang dulu pernah ia tempati setahun silam. Lokasinya tidak jauh dari rumah Bavik, sang tunangan. Dari losmen itu, cukup berjalan kaki sekitar dua puluh menit, ia sudah bisa tiba di rumah calon istrinya.
Karena ia tiba tadi subuh, tepat pukul 04.00 WIB, ia memutuskan untuk tidur sejenak. Baru sekitar pukul sembilan pagi, ia terbangun.
Kedatangannya bukanlah kejutan bagi Bavik maupun keluarganya. Jauh hari sebelumnya, mereka memang sudah diberi kabar. Tanpa basa-basi, Otong langsung menuju dapur.
Di sana, Bavik dan ibunya sedang sibuk dengan aktivitas pagi mereka.
“Eh, kapan datang, Nak?” tanya ibu Bavik, yang tubuhnya ramping meski usianya hampir menyentuh angka enam puluh.
Aktivitas sehari-harinya sebagai bidan beranak kampung, berjalan kaki bolak-balik antar kampung, mengantar obat dan menolong persalinan, menjadikan tubuhnya tetap gesit.
“Tadi subuh, Mak,” jawab Otong sembari mencium tangan calon mertuanya dengan penuh takzim.
“Kok baru sekarang ke sini?” tanya ibu Bavik lagi, menatapnya sambil meletakkan pisau dapur.
“Tidur dulu di losmen, Mak. Biasalah...” sahut Otong diselingi tawa ringan.
Bavik segera menghampiri, menyalami Otong dengan senyum gemas. Tangannya sempat diremas lembut oleh Otong, dan Bavik pun membalas dengan malu-malu. Namun, cepat-cepat mereka melepas genggaman saat sadar ibunya masih di dapur.
Tak lama, Bavik membuatkan kopi dan menyodorkannya ke Otong .
“Minum, Bang,” ujarnya lembut.
“Terima kasih, Vik.” Otong menatap tunangannya itu dengan sorot mata yang menyimpan rindu dan cinta yang nyaris tak terbendung.
“Oh ya, Bapak udah berangkat kerja?” tanya Otong sambil melirik ke sudut dapur yang kosong.
“Sudahlah! Bapak mana pernah mau terlambat,” jawab Bavik sambil tertawa.
Memang benar, ayahnya dikenal sangat disiplin, meskipun jabatannya hanya pegawai rendahan.
“Abang makan siang di sini ya?” tawar Bavik .
“Boleh. Tapi, sudah ada sayur?”
“Belum sempat beli.”
“Nasinya udah ada?”
“Udah.”
“Ya sudah. Kita beli sayuran ke pasar bareng-bareng, yuk. Mau?”