Ya, Yah,” sahut Otong.
Otong meminta Felix, tetangga mereka yang biasa mengojek untuk mengantar ayahnya ke kampung Paal. Karena dia menginap di penginapan terapung milik bibi Otong yang sudah mualaf mengikuti suaminya.
Otong melihat wajah ayahnya masam, tetapi Otong pura-pura saja tidak tahu. Ia paham, jika begitu ayahnya pasti sedang marah kepadanya. Otomng tidak peduli, terserah ayahnya mau marah kepadanya, kan dirinya yang menikah.
Setelah setelah itu, dengan penuh kasih, Otong membimbing tangan Bavik, kekasih yang baru saja resmi menjadi istrinya, menuju mobil pengantin. Bavik tampak memesona dalam balutan gaun putih polos nan sederhana, sementara Otong mengenakan jas biru gelap yang menambah kesan elegan.
Kombinasi warna keduanya mencolok namun serasi. Meskipun wajah Otong tak bisa dibilang tampan paripurna, malam itu dialah satu-satunya pria berjas di antara lautan undangan.
Dan berdampingan dengan Bavik yang jelita, mereka tampak seperti pasangan iklan parfum kelas atas.
Mobil pengantin pun melaju perlahan, membawa mereka pulang ke rumah orang tua Bavik. Sesampainya di rumah, Otong segera berganti pakaian, kaus tipis dan celana training.
Ia lalu menyeduh teh hangat yang dicampur madu dan jahe untuk sang istri. Bavik pun tak mau kalah sigap; ia melepaskan gaun pengantin, mengganti dengan pakaian santai, dan membersihkan wajah dari riasan tebal.
Sambil menunggu teh agak dingin, Otong mengoleskan minyak param hangat ke tubuh sang istri. Tangan-tangannya memijat kaki dan lengan Bavik dengan lembut, mengalirkan kenyamanan.
“Terima kasih, Bang Otong,” bisik Bavik, menyentuh tangan suaminya.
“Gimana? Agak enakan?” tanya Otong lembut.
“Ya, Bang. Sudah lebih baik.”
Pelan-pelan rona pucat di wajah Bavik berganti menjadi warna merah muda alami. Tak lama kemudian, anggota keluarga lain berdatangan dari tempat resepsi. Mereka sibuk menurunkan barang-barang dari mobil sewaan.
Bahkan makanan sisa pesta juga dibawa pulang oleh juru masak yang mereka sewa, karena jumlah tamu yang hadir hanya sekitar 75% dari undangan.
“Yang masih lapar, silakan makan ya!” seru Otong .
“Benar, ayo makan! Masih banyak kok,” sambung Bavik .
Seruan itu tak sia-sia. Satu per satu anggota keluarga mengambil piring dan mulai menyantap nasi serta lauk yang masih hangat. Melihat mereka lahap, nafsu makan Otong pun muncul.
“Adek mau makan?” tanyanya pada Bavik .
“Ndak terlalu selera, Bang.”
“Sedikit saja, ya? Biar ada isi perut.”
Bavik mengangguk kecil, tersenyum manis. “Boleh. Sedikit saja.”
Otong mengambilkan nasi setengah centong, sayur ikan masak asam pedas, chap chai, dan dua tusuk sate ayam. Ia tahu betul selera sang istri.
“Terima kasih, sayang,” ucap Bavik lembut.
Otong hanya tersenyum, lalu menyiapkan piring untuk dirinya sendiri, lebih lengkap, tentu saja. Ia duduk bersila di dekat Bavik. Memang mereka makan melantai. Mereka makan bersama, penuh kehangatan dan tawa pelan. Momen sederhana tapi begitu berarti.
Setengah jam kemudian, semua peralatan makan dibereskan. Sisa makanan dimasukkan ke dalam kulkas agar tidak basi. Beberapa mulai menguap. Kekenyangan dan kelelahan setelah pesta membuat tubuh menyerah.
“Tidurlah, Dek,” kata Mirna, kakak Bavik, yang melihat adiknya menguap beberapa kali.
“Ya, Kak.”