Sinar matahari pagi menerobos ventilasi kamar, jatuh tepat ke wajah Otong yang masih terlelap. Kehangatan sinar matahari pagi itu membuatnya menggeliat malas-malasan, lalu mengerling jam weker di meja samping tempat tidur.
Ternyata sudah lewat pukul delapan!
Ia menguap lebar, lalu mengusap wajah sambil mengingat pesan ayahnya semalam, yang memintanya datang pagi ini ke penginapan terapung di kampung Paal. Wajah ayahnya saat itu tampak serius, bahkan agak kelam, tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang hendak ditegaskan.
Ia menarik selimut karena tubuhnya terasa dingin. Namun tanpa sengaja, selimut itu malah menyingkap tubuh Bavik yang masih tertidur di sebelahnya. Tubuh yang terbungkus kemarin malam kini terekspos dengan alami, membuat Otong buru-buru menarik kembali selimut ke atas tubuh istrinya.
Itulah kali pertama matanya menangkap sosok Bavik dalam wujud aslinya—tanpa sehelai pun kain yang menjadi sekat antara mereka. Sejenak, waktu seakan berhenti berdetak.
Matanya tak berkedip, hatinya berdegup kencang, dan pikirannya melayang tak tentu arah. Sosok itu bagaikan lukisan dewi dari langit ke tujuh, begitu memesona hingga membuat napasnya tertahan.
“Ya Tuhan,” gumamnya dalam hati, “keindahan ini nyata.”
Namun ia tidak lama termenung, karena bisa berbahaya. Dia ingin segera berangkat.
"Waduh, maaf ya, sayang," bisiknya pelan, meski Bavik masih tertidur.
Ia tak ingin sang istri merasa malu, apalagi udara pagi cukup menusuk. Sehingga dia menarik selimut yang menutupi tubuhnya dan mkenjutupi tubuh Bavik.
Namun, tanpa sadar, Otong justru membuat dirinya sendiri dalam keadaan sama, tanpa sehelai benang pun.
Lebih parah lagi, karena udara dingin membuat tubuh mudanya bereaksi spontan, sebuah respons alami yang tak bisa dia cegah. Dirinya berdenyut-denyut keras sekali dan berdiri seperti tonggak baja dan ingin segera dipuaskan.
Tetapi manalah mungkin dia sempat melakukannya pada istrinya, pertama karena sudah siang yang artinya sudah banyak penghuni rumah yang bangun dan kedua dia teringat dengan pesan ayahnya semalam.
Dia harus ke kampung Paal tempat di mana ayahnya menginap …
Dia memutuskan untuk segera bangun. Setelah mengenakan pakaian seadanya, ia mengecup kening Bavik yang masih terlelap. Tapi rupanya, ciuman itu membangunkan sang istri.
Dengan mata terpejam dan suara pelan, Bavik berkata:
"Kok abang ikut tidur di sini?"
Otong terkekeh geli.
"Memangnya kenapa, Dek?"
"Kan laki-laki dan perempuan belum boleh tidur bareng kalau belum nikah."
"Tapi kita sudah menikah, sayang. Lupa, ya?"
Bavik terdiam sejenak. Wajahnya berusaha mengingat-ingat. Dan ketika ingatan semalam kembali menghampirinya, dia hanya tersenyum malu-malu.
"Oooh iya, baru aku sadar kita sudah menikah ..."
Tiba-tiba pandangannya melirik ke arah suaminya, lalu tertahan.