Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #61

61-Ayah, Undangan, dan Speed Boat

 

“Jangan lupa, Ayah selalu mengingatkannya,” kata ayahnya dengan nada separuh mengingatkan.

Otong separuh menyerah, sambil mengelus dahinya sendiri yang terasa makin licin oleh peluh. Ayahnya sedang berbicara tentang adik laki-laki Otong nomor dua, sang pangeran tampan yang bagi perempuan, lebih memikat daripada cokelat Swiss di musim hujan.

Namun apapun kesalahan adiknya itu selalu di bela oleh ayahnya, tidak lain alasannya karena dia tampan.

“Ah, ndak apa-apa. Namanya juga rezeki anak ganteng,” ujar ayahnya santai, bahkan dengan sedikit kebanggaan yang tak bisa ditutupi. “Kalau banyak yang naksir, berarti dia laris. Ganteng itu memang tak bisa disembunyikan, Nak.”

Otong pun bungkam. Dalam hatinya sedikit protes, mengapa tampan jadi alasan, memangnya sewaktu dilahirkan dirinya yang tidak tampan itu dia minta dengan Tuhan.

Otong ingat, sebelum lahir tidak ada perbantahan dengan Tuhan, dirinya di dilahirkan jelek dan miskin. Kalaulah memang ada negaosasi, maka dia ingin menjadi anak Elon Musk, orang terkaya di dunia.

Ia bukan kehabisan argumen, tetapi karena malas mendengar puja-puji ayahnya yang seolah lebih cocok ditujukan kepada idol Korea ketimbang anak sendiri. Memang sih, dia harus jujur, adiknya itu memang good looking. Tapi bukan berarti bebas dari kritik dan nasihat, kan?

“Masuk sini dulu!” perintah ayahnya, tiba-tiba berubah serius sambil melangkah ke kamar tidur sempit tempatnya menginap. Otong ikut saja, meski perasaannya seperti dibawa masuk ke ruang interogasi.

Begitu mereka masuk, pintu langsung dikunci. Otong diam, agak canggung. Ia belum sempat duduk, tapi sudah merasa seperti terdakwa yang akan diadili.

“Ayah mau bicara,” kata ayahnya dengan suara yang mendadak berat, seperti pembuka film dokumenter sejarah.

Otong hanya menelan ludah, menanti apa yang akan keluar dari mulut ayahnya berikutnya. Soalnya kalau nada suara ayahnya sudah begini, pasti ada sesuatu yang "besar".

“Kamu tahu, kelakuanmu tidur di rumah Bavik itu... tidak sesuai adat kita,” kata ayahnya, dengan ekspresi seperti sedang menegur kepala desa yang lupa pakai kopiah waktu upacara.

“Saya belum tidur di sana, Yah. Baru tadi malam setelah resepsi. Itu pun hanya sebentar,” jawab Otong mencoba membela diri, walaupun sebenarnya ia juga merasa seperti murid yang ketahuan nyontek meski belum sempat menulis apa-apa.

“Ooh, Bapak kira kamu sudah tidur di sana dari semalam sebelumnya,” gumam ayahnya. “Ya sudah, syukurlah belum kejadian.”

“Enggak, Yah. Saya tetap pegang prinsip. Saya tahu batasnya,” jawab Otong mantap, berharap ayahnya cukup puas dengan itu.

Namun, harapannya kandas secepat hujan turun di sore hari.

“Tapi kamu masih punya satu kesalahan lagi,” ujar ayahnya dengan nada tajam. Matanya menatap Otong seperti detektor kebohongan.

“Salah apa lagi, Yah?” tanya Otong heran.

Dalam hatinya, ia mencoba mengingat apakah tadi pagi ia lupa pakai sabun mandi.

“Kamu tidak mengundang Ayah ke pesta pernikahanmu.”

“Maksudnya?” Otong mengernyit heran.

“Ayah tidak mendapat undangan resmi darimu. Kamu pikir Ayah ini siapa?” tanya ayahnya dengan nada terluka seperti tokoh utama sinetron.

Lihat selengkapnya