Sore itu, Otong dan istrinya, Bavik, memutuskan untuk menginap di sebuah hotel sederhana bernama Tangga Langit. Hotel ini berdiri malu-malu di belakang pusat perbelanjaan legendaris Kapuas Indah, yang dulu gemerlap bak bintang jatuh di langit Pontianak.
Namun kini, kejayaannya telah meredup, digeser oleh pusat-pusat perbelanjaan raksasa seperti Ligo Mitra, Ramayana, Matahari, Transmart, Megamall, dan Gaia yang menjulang tinggi dengan lift kaca dan pendingin ruangan seperti angin surga.
Dulu, Kapuas Indah adalah kebanggaan kota gubernuran ini. Di lantai duanya bahkan pernah berjajar enam bioskop legendaris. Menurut Otong, suara dari bioskop-bioskop itu begitu menggema merdu, seolah setiap ledakan dalam film adalah nyata.
“Kayaknya sound system-nya buatan Phillips Belanda deh,” kata Otong suatu hari, “bass-nya tuh... dalem banget, Bavik. Bikin jantung nyut-nyutan kayak orang jatuh cinta.”
Bavik hanya mengangguk. Baginya, perbedaan suara bioskop itu seperti membedakan kopi sachet dengan kopi tubruk, sama-sama pahit kalau diminum sambil patah hati. Dia tidak terlalu faham.
Karena ingin melihat pemandangan yang menenangkan hati, Otong memilih kamar di lantai dua. Dari sana, Sungai Kapuas yang megah terlihat seperti ular raksasa yang tidur pulas membelah kota.
Bahkan Jembatan Kapuas I yang melintasi Kapuas Kecil tampak begitu gagah, meski catnya sudah mulai pudar dimakan usia.
Bavik, yang tidak punya pengalaman menginap di hotel kelas Melati, hanya mengangguk setuju. Baginya, selama bersama suami tercinta, tempat bukan soal utama. Meski… hotel ini lebih mirip rumah sakit tua yang ditinggalkan pasiennya.
Karpetnya berbau lembap, dindingnya dipenuhi bekas tempelan nyamuk yang tidak sempat lolos dari kemarahan tamu sebelumnya, dan suara tikus terdengar riang gembira dari plafon.
“Hotel ini kayak bangunan di film horor ya, Bang,” gumam Bavik sambil memeluk tas makeup kecilnya.
“Iya, tapi horornya bukan hantunya… lebih ke kebersihannya,” jawab Otong sambil tertawa getir.
Otong memanggul semua barang berat mereka: koper, tas, bahkan galon air kecil yang dibawanya dari rumah. Sementara Bavik, dengan langkah pelan, membawa bantal leher dan tas jinjing warna merah jambu.
Mereka masuk kamar tanpa ada bantuan bellboy, karena memang hotel ini hanya menyediakan resepsionis yang merangkap tukang parkir, penjaga kunci, dan kadang-kadang jadi tukang kebun.
Kamar mereka hanya dilengkapi kipas angin yang menderu seperti suara traktor. Kamar mandinya? Ah, jangan tanya. Bau khas bangunan tua menyambut seperti sahabat lama.
Lantai licin, WC duduk dengan bekas kerak kekuningan, dan gayung yang bentuknya sudah tidak jelas. Sabun tidak disediakan, dan handuk pun sudah berubah warna seperti kain pel yang baru dicuci setengah hati.
“Abang duluan mandi, ya. Biar badan segeran,” ucap Otong.
Bavik mengangguk, “Aku cuci muka aja deh. Airnya dingin banget.”
Begitu selesai mandi dengan sabun murahan dari resepsionis, sabun kecil seperti potongan lilin, yang baunya lebih mirip pewangi rak sepatu.