Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #64

64-Akhirnya Kesampaian

 

Setelah makan malam yang membahagiakan namun mengenyangkan, Otong dan Bavik kembali ke dalam kamar hotel mereka yang remang-remang. Sebuah kamar sederhana di Hotel Tangga Langit, hotel kelas melati yang nama dan fasilitasnya sama-sama melangit, dalam artian cukup menguji iman dan daya tahan.

Otong lalu menyalakan televisi kecil di kamar, berharap ada tayangan yang bisa memperluas wawasannya, atau setidaknya, menyegarkan pikiran. Namun, apa yang dilihatnya justru membuat keningnya mengerut.

Channel demi channel berganti. Ada sinetron yang penuh tangisan berlebihan dan musik latar yang terlalu dramatis, ada ceramah agama yang disisipi promosi suplemen dengan embel-embel ‘hasil riset pribadi’, dan ada pula tayangan yang menampilkan debat panas tapi dengan logika seadanya.

“Astaga… masa pemuka agama promosi vitamin?” gumam Otong geli.

Di layar, seorang pemuka agama dengan wajah khidmat berkata bahwa suplemen yang ia promosikan telah melalui riset mendalam. Otong tersenyum miris. “Riset? Yang bener aja. Riset itu metode ilmiah, bukan sekadar perasaan yakin.”

Sebagai orang yang pernah belajar ilmu eksakta meski tak sampai jadi profesor, Otong tahu bahwa riset sejati tidak bisa dilakukan hanya dengan keyakinan. Ia butuh data, hipotesis, uji coba berulang, dan tentu saja validasi dari rekan sejawat.

“Tapi ya gimana… literasi rendah, label tinggi,” gumamnya sambil menggeleng pelan.

Di negeri ini, selama seseorang punya gelar atau pengikut, ucapannya bisa lebih dipercaya ketimbang sepuluh profesor yang bicaranya pelan.

Ia terus berselancar dari satu channel ke channel lain. Dua stasiun berita nasional yang terlihat lebih berkualitas malah saling menyerang satu sama lain. Yang satu condong ke pemerintah, yang satunya lagi ke oposisi. Netralitas? Seperti mencari es batu di padang pasir.

Akhirnya, Otong mematikan televisi dan menoleh ke arah istrinya yang sedang membenarkan letak bantal.

“Belum ngantuk, Sayang?”

“Belum, Bang. Mungkin sebentar lagi,” jawab Bavik sambil tersenyum manis.

“Kita sikat gigi dulu, yok. Abis itu baring. Siapa tahu capeknya bikin kita cepat tidur.”

“Ayo,” jawab Bavik antusias.

Mereka berdua masuk ke kamar mandi yang sempit, menyikat gigi dengan cermat sambil sesekali tertawa kecil karena busa yang muncrat kemana-mana. Setelah itu, Bavik menyiapkan tempat tidur.

Sprei kamar hotel itu sedikit kusut dan berbau apek, tapi tetap ia rapikan dengan kasih sayang, seperti merapikan kasur di rumah sendiri.

Otong mendekatinya sambil berbisik lembut, “Tidur, Sayang?”

Bavik menoleh, matanya teduh namun ada sedikit rona merah di pipinya. “Boleh, Bang.”

Otong tersenyum. Malam itu, ia merasa waktunya telah tiba untuk benar-benar menyatu dengan perempuan yang telah resmi menjadi istrinya beberapa hari lalu. Ia mengambil selembar kain putih kecil dari tas, kain yang sejak malam pertama sebenarnya sudah disiapkan, namun belum terpakai.

Lihat selengkapnya