“Tapi kok mereka tidak merasa berdosa?” tanya Bavik dengan dahi mengernyit. Tatapannya seperti detektif dadakan yang sedang menginvestigasi keadilan dunia pasar.
Otong, yang sedang menggoyang-goyangkan kaki sambil menyeruput teh manis, mengangkat bahu dan menatap langit-langit warung. “Jangankan harga barang, Tuhan pun kadang mereka anggap bisa diatur,” jawabnya kalem, seolah-olah sedang membaca puisi patah hati.
“Ya sih, Bang,” gumam Bavik. “Tapi tetap saja rasanya harga-harga itu semacam pemerasan. Masa jeruk dua biji harganya kayak emas putih?”
Otong hanya nyengir. Dalam hatinya ia juga gregetan, tapi ia sudah terbiasa dengan hal-hal ‘aneh tapi nyata’ seperti itu. “Ndak lah, Dek. Malahan mereka mungkin merasa sudah pasti masuk surga—VIP class.”
Logika ekonomi memang bisa jungkir balik ketika dibungkus jargon keagamaan dan embel-embel ‘keagamaan’ tanpa esensi. Tapi siapa yang bisa membereskan? Hukum alam mungkin. Jika masih ada yang beli, usaha dengan harga langit tetap bisa bertahan.
…
Tak lama kemudian, keduanya menaiki pesawat Cessna mungil buatan Amerika Serikat itu dengan jumlah penumpang yang bisa dihitung jari dan dua kursi kosong di belakang. Bavik tampak tegang.
“Ngeri ya, Bang. Pesawatnya kecil banget. Kalau goyang dikit rasanya kayak naik odong-odong di jurang.”
Seorang ibu-ibu yang duduk tak jauh menoleh dan tersenyum, “Takut ya, Nak?”
“Iya, Bu,” jawab Bavik polos.
“Tenang saja. Berdoa dalam hati, pasti selamat. Yang penting pesawatnya bukan digerakkan tenaga batin,” selorohnya.
Dua jam kemudian, pesawat mungil itu akhirnya mendarat mulus di Bandara Rahadi Oesman, Ketapang, landasan yang tidak seberapa besar tapi cukup membuat jantung deg-degan ketika roda pesawat menyentuh aspal.
Begitu turun dari pesawat, Otong langsung menyalakan mode 'komandan logistik'. Ia menghambur ke arah petugas bagasi, memelototi koper dan kardus-kardus seperti sedang mencari harta karun.
Setelah yakin barang-barangnya utuh dan tak ada yang berubah jadi ayam geprek, ia segera memesan taksi bandara.
“Mas, ke mess perusahaan di Suka Bangun, ya,” ujarnya mantap pada sopir taksi, sambil menjejalkan tas ke bagasi.
Bavik, yang sejak tadi masih ternganga melihat suasana baru yang serba asing, ikut masuk taksi dengan wajah bingung sekaligus penasaran. Dari ekspresinya, jelas sekali bahwa ini adalah pertama kalinya ia menginjak tanah Kayong.
Ia tampak seperti anak ayam yang baru menetas dan langsung ikut induknya masuk hutan, tak tahu mau ke mana, tapi percaya saja pada langkah si abang.
“Bang, ini kita ke mana?” bisiknya lirih saat taksi mulai melaju.
“Ke tempat tinggal kita. Mulai hari ini, kamu resmi jadi penduduk Suka Bangun,” jawab Otong sambil tersenyum, seolah-olah sedang menyambut penduduk baru di desa dongeng.
Bavik hanya mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia berdoa semoga perjalanan hidupnya bersama Otong ini bukan jalan ke jurang. Tapi ya, nasi sudah jadi bubur, dan bubur ini harus dimakan dengan ikhlas, plus kerupuk, kalau bisa.
Mess itu sederhana, tetapi cukup layak untuk ditinggali. Begitu tiba, beberapa ibu-ibu langsung menyambut dengan ramah. Mereka bersalaman dan bertanya kabar, memperkenalkan diri satu per satu.
Bavik yang awalnya kaku, perlahan mulai mencair, apalagi ketika salah satu ibu mengajaknya minum teh sambil ngobrol tentang cara membuat tempe dari kulit pisang.
Namun, di tengah kehangatan itu, Otong baru tersadar, parangnya tertinggal di dalam taksi! Itu bukan sembarang parang, tapi Isou Ambang, parang khas suku Uut Danum berbentuk parang besar dan panjang yang bisa membelah paku sekalipun.