Pagi masih menguap malas ketika Otong duduk di kursi dapur yang agak goyang di sudut mess. Segelas teh hangat mengepul di tangannya, disiapkan khusus oleh Bavik, istrinya yang baru saja menikahinya dua bulan silam.
Teh itu tidak terlalu manis, sesuai pesanan. Bukan karena pelit gula, tapi memang Otong selalu percaya, manis yang berlebihan bisa mempercepat atau memperparah penyakit Diabetes tipe 1 dan 2.
Bersama teh, ada piring berisi kue yang dibeli Otong sepulang lembur semalam. Kue itu bukan sembarang kue. Itu kue buatan selebriti lokal, si tukang sayur komplek yang setengah baya tapi punya pesona misterius yang bisa membuat para ibu-ibu di lingkungan mess mendadak rajin berdaster cantik tiap pagi.
Bavik sendiri memakan kue itu sambil duduk di kursi di dekat suaminya, menikmati gigitan demi gigitan seperti sedang ikut audisi makan cantik ala YouTuber Korea.
“Bang, masih ada tuh suara kayak orang mandi,” keluh Bavik sambil mengunyah pelan, seperti takut mengecewakan kue lezat di mulutnya.
Otong mendongak, menyeruput teh, lalu bertanya, “Adek bisa tidur semalam?”
“Ndak nyenyak, Bang. Suara itu mengganggu banget. Kayak ada yang cebar-cebur di kamar mandi, padahal sudah jam dua pagi.”
“Takut?”
“Bukan takut... lebih ke jengkel. Saking sebelnya, adek sampai ke WC buat ngecek. Tapi lantainya kering, Bang. Sama sekali nggak ada bekas air!”
“Hah?!” Otong nyaris menyemburkan teh ke arah tembok. Untung sempat ditahan.
“Kamu berani banget, Dek! Itu tengah malam lho!”
“Abang juga yang bilang, nggak ada satu pun kuasa gelap yang bisa ngalahin kuasa Tuhan. Adek pegang janji itu.”
Otong terdiam sejenak, memandangi istrinya penuh kagum. “Kamu memang luar biasa.”
“Tapi tetap aja, suara itu ganggu banget. Kita harus ngelakuin sesuatu, Bang.”
Otong menaruh gelas tehnya, berpikir sejenak. “Kita undang Romo Paroki saja, ya? Minta beliau datang dan berkati mess ini.”
Bavik langsung mengangguk seperti anak sekolah yang setuju diajak piknik. “Setuju! Tapi kapan, Bang?”
“Pagi ini. Setelah mandi dan siap-siap, kita langsung ke Pastoran.”
“Jauh kah?”
“Sekitar delapan kiloan dari sini. Nggak terlalu jauh kok.”
“Kalau gitu, pulangnya kita makan siang di kota ya, Bang? Soalnya kalau udah capek, aku ogah masak.”
Otong tertawa kecil. “Kamu sudah punya rencana ternyata. Ya udah, kita makan di luar aja. Kamu mau makan apa?”
“Chinese food, boleh?”
“Boleh. Tapi jangan terlalu sering, nanti kamu makin montok.”
“Yaelah, Bang. Aku bisa jaga makan kok. Kita pilih menu sehat aja.”