Otong berdiri dalam antrian yang panjang, ribuan karyawan pabrik juga sedang menunggu giliran untuk mencetak absensi di mesin. Hawa terasa panas dan gerah di antara kerumunan orang-orang yang terburu-buru untuk segera pulang dan makan siang di mess.
Suara gaduh dan beragam aroma keringat terasa menyengat setiap langkahnya di barisan tersebut.
Begitu tiba giliran, Otong menyentuh kartu absennya ke mesin, kemudian memasukkannya kembali ke dalam papan penyimpanan seperti biasa. Tak lama kemudian, ia berjalan pelan ke arah mess sambil bersenandung merdu lagu cinta, ia merindukan istrinya, Bavik, yang sudah menunggunya di mess tempat mereka tinggal.
Walaupun belum genap lima jam sejak Otong berangkat pagi tadi, kerinduan terhadap Bavik sudah begitu kuat. Begitu rutinitas mereka sejak ia masuk shift siang: makan siang bersama.
Saat itu, Bavik telah menyiapkan makanan, sayur yang dibeli dari tukang sayur selebriti kompleks mess, dengan penuh cinta.
Di antara banyaknya karyawan yang memilih membawa bekal nasi dan lauk dari rumah, atau membeli makanan di kantin maupun warung dekat pabrik, Otong tetap memilih pulang dan makan bersama Bavik. Baginya, makan bersama istri jauh lebih hangat dan bermakna.
Biasanya, begitu sampai mess, ia akan disambut pelukan hangat dari istrinya, disusul kecupan mesra. Meja makan pun bukan sekadar nasi dan sayuran biasa, karena ada senyum merekah Bavik yang menambahkan kehangatan suasana.
Hari itu suasana sedikit berbeda.
Begitu tiba di depan pintu mess, Otong memanggil, “Sayang?” tak juga ada jawaban selain tembok. Ia panggil lagi, sedikit lebih lantang, dan mengetuk pintu. Namun masih sunyi. Kian kuat ia mengetuk, suara gaduh terdengar dari arah belakang, seperti muntahan. Jantungnya berdegup cepat.
“Sayang…?” gumamnya khawatir sambil mengetuk lebih keras.
Tak berapa lama, terdengar beberapa kali muntahan, suara terbata dan bergema dari arah WC di bagian belakang mess. Ia memanggil lagi, menyusul sambil mengetuk.
Kemudian, terdengar kaki melangkah cepat mendekat. Pintu terbuka dan sosok Bavik muncul, wajahnya pucat, mata berkaca, napas tersengal.
Otong segera bertanya khawatir, “Sayang, kamu apa?”
“Saya tidak tahu, Bang,” jawab Bavik lemas sambil menggeleng. “Aku tadi pagi sudah mual dan muntah beberapa kali.”
“Sayang... kamu sakit?”
“Entahlah… Kepala pusing dan mual sejak tadi pagi. Aku belum bisa masak… maaf, Bang.”
Tadi pagi Bavik sempat mengeluh mengantuk dan malas bangun, tak seperti biasanya. Maka ketika Otong berangkat, ia sempat menyiapkan susu dan beberapa kue, menaruhnya di meja kecil dekat tempat tidur mereka sebagai tanda cinta.
Otong menarik pintu kembali, menguncinya, kemudian memeluk istrinya. Ia menggendong Bavik masuk ke dalam mess. Suaranya lembut, “Mau ke dapur atau ke tempat tidur, Sayangku?”
“Ke tempat tidur saja, Bang,” desahnya manja, membiarkan Otong menggendongnya.
Begitu sampai di tempat tidur, ia meletakkan Bavik dengan lembut dan menyarankannya untuk berbaring. Tangannya menyoreskan urutan lembut ke kening istrinya, terlihat suam suhu sedikit naik.
“Maag kamu kambuh, Dek?” tanya Otong , ia tahu betul istrinya sejak SMP sudah menderita maag kronis. Dua kali sempat opname saat SMP dan SMA.
Bavik terdiam sesaat, lalu berkata pelan, “Tidak seperti sakit maag, Bang... hanya mual berlebihan.”
“Sekarang gimana perasaanmu?”
“Setelah tadi muntah, sedikit lebih baik.”
“Kalau gitu, abang izin untuk nggak masuk ke shift sore ini? Nanti abang masak nasi dan beli sayur.”
“Boleh, Bang.”