Bavik duduk bersandar dengan tenang, meski wajahnya masih agak pucat. Ia menatap suaminya yang sedang menghabiskan sisa makan siangnya dengan lahap dan penuh gaya, seperti biasanya kalau makan enak.
Nasi hangat, ayam goreng krispi, sambal petai, dan udang windu yang berselimut daun ubi membuat meja makan kecil mereka terasa seperti pesta dadakan.
“Loe sudah cukup kenyang, Sayang?” tanya Bavik dengan suara pelan.
“Wah, kenyang banget! Rasanya perut gue kayak habis buka puasa tujuh hari tujuh malam!” sahut Otong sambil menepuk-nepuk perutnya. “Tapi bukan karena loe nggak masak, ya. Justru karena loe sakit, makanya abang tambah semangat makan. Biar kuat nemenin loe!”
Bavik tersenyum simpul. “Gombal amat loe, Bang.”
“Tapi serius,” kata Otong, berubah serius. “Malam ini kita periksa ke dokter aja, ya. Abang nggak tenang kalau belum tahu apa yang sebenarnya loe alami.”
“Ah, malaslah, Bang. Adek sudah mendingan kok. Cuma mual-mual biasa.”
Otong mendekat, meraih tangan istrinya. “Sayangku... kita periksa aja, ya. Jangan anggap remeh. Kadang mual itu bukan sekadar mual, Abang ingin memastikan, bisa aja tanda-tanda... ehm... sesuatu yang penting.”
Otong menatapnya curiga. “Loe jangan-jangan berharap gue pasti hamil, ya?”
Otong tertawa kecil. “Kalau iya, kenapa? Loe takut jadi emak-emak kece, gitu?”
Setelah beberapa menit membujuk dengan rayuan, logika, dan sedikit drama ala sinetron sore, akhirnya Otong menyerah juga. “Okelah, Bang. Tapi abang yang antar, ya. Jangan ngebut-ngebut. Gue masih pusing.”
“Tenang, Sayang. Abang akan mengendarai motor kayak tukang antar bayi. Halus dan penuh cinta.”
Malam itu, mereka berdua berangkat ke dokter menggunakan motor pinjaman tetangga mess. Dengan penuh kehati-hatian dan gaya mengemudi seperti pengawal presiden, Otong membawa Otong ke salah satu klinik praktik dokter perempuan yang cukup terkenal di Ketapang.
Nama dokter itu jelas menunjukkan marga Batak. Tapi ketika berhadapan langsung dengannya, Otong cukup terkejut. Tidak ada ciri khas wajah Batak. Tidak ada juga aksen bicara. Malah terdengar sangat netral. Otong sempat berpikir, “Ini dokter Batak impor dari Bali, apa bagaimana?”
Namun, dalam hatinya, ia kagum. "Hebat juga orang Batak, ya," batinnya. “Dari Sumatera bisa menaklukkan Kalimantan. Jadi pengacara iya, pendeta ada, pedagang apalagi, eh sekarang jadi dokter pun ada di mana-mana!”
Sementara Otong sibuk berdialog dalam hati, sang dokter sudah mulai memeriksa Bavik dengan penuh teliti. Tekanan darah dicek, suhu tubuh diukur, urin diambil untuk diperiksa di lab kecil di samping ruang praktik.
Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruang lab sambil tersenyum hangat. “Selamat ya, Bapak dan Ibu muda.”
Otong dan Bavik menatapnya dengan sedikit bingung.
“Positif hamil,” ujar dokter itu mantap sambil menyerahkan hasil lab.
“Jadi benaran hamil?” Bavik melongo, nyaris menjatuhkan topinya. “Maksudnya... Adek hamil, Bu Dokter?”