Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #72

72 - Empat Istri dan Satu Kepala

 

“Bagus,” jawab Otong lesu.

Dia memang pantas lesu, kelakuan istrinya ini sungguh berbahaya.

Kemudian sambil memegang keripik pisang, tangan istrinya cekatan seperti tukang bangunan profesional, lengkap dengan daster motif bunga dan sandal jepit yang nyaris putus.

Otong pun mendekat perlahan, seperti mendekati kucing galak, lalu berkata lembut, “Sayang... lain kali jangan ngetukang sendiri, ya. Ingat, kamu lagi hamil muda. Bahaya kalau jatuh.”

Istrinya menoleh, tersenyum bangga sambil menepuk-nepuk tangannya yang berdebu. “Tenang, Bang. Anak kita kuat. Lihat aja, ibunya masih bisa panjat dinding!”

Otong hanya menghela napas, setengah gemas, setengah kagum. Dalam hatinya, ia berpikir, Kalau dari sekarang udah nekat begini, jangan-jangan anak kita nanti laki-laki? Dan mungkin, bakal mirip ibunya: keras kepala, tapi penuh semangat.

Ia pun tersenyum kecil, membayangkan anaknya nanti naik genteng sambil bawa paku dan martil sejak umur lima. Sambil menatap istrinya yang kini sibuk menutup celah atap dengan potongan kardus, Otong berdoa dalam hati, Tuhan... semoga anak kami punya nyali, tapi juga tahu kapan harus turun dari atas.

 

"Itu mah gampang, Bro. Tinggal cari tahu siapa lelaki yang bikin mereka berbadan dua. Minta dia tanggung jawab. Beres, kan?" ujar Otong santai, sambil menyeruput teh manisnya yang mulai kehilangan hangat.

Pak Priyatno menatap langit-langit warung kopi, lalu menghela napas panjang, seperti hendak meniup awan. "Masalahnya, Bro ... yang bikin mereka hamil itu... saya sendiri."

Otong sontak tersedak. Tangannya gemetar, matanya membelalak. Ia buru-buru menyeka teh yang mengalir ke dagunya dengan tisu warung yang kasar. "Hah? Loe yang... Ya ampun, Bro! Serius ini mah?"

Pak Priyatno hanya mengangguk pelan, seperti siswa yang tertangkap basah mencontek rumus fisika di balik kalkulator.

"Itu juga alasan kenapa gue ngajak loe ngopi di sini. Gue butuh saran. Kepala gue mumet, otak udah kayak jalanan macet jam pulang kerja."

Otong mengusap dahinya, memandang kosong ke luar warung. Matanya nanar seperti baru saja menonton film tragedi Korea. Ia tahu, sahabatnya ini memang suka menggoda dan menjodoh-jodohkan orang, termasuk dirinya dengan adik iparnya. Tapi... tiga perempuan sekaligus?

"Menurut gue," ucap Otong akhirnya, setelah mengembuskan napas panjang, "kalau loe udah tahu itu salah loe, ya loe tanggung jawab dong. Nikah atau enggak, minimal loe biayai hidup mereka dan anak-anaknya sampai lulus kuliah. Gue sih nggak nyaranin digugurin ya. Itu udah masuk wilayah dosa berat. Tapi ya, semua kembali ke nurani loe."

Pak Priyatno diam. Sorot matanya sayu, tak seperti biasanya yang selalu menyala-nyala saat membahas klub bola atau resep soto favorit. Kali ini, ia seperti seseorang yang kehilangan arah di tengah peta kehidupan.

"Soal adik ipar gue..." ucapnya lirih, "jujur aja, gue rasa istri gue sendiri yang sengaja menjebak."

Otong menaikkan alis. "Maksud loe?"

"Begini. Udah lima tahun nikah, istri gue belum juga hamil. Gue pengin banget punya anak. Nah, suatu hari dia ngajak adik perempuannya tinggal bareng di mess. Awalnya gue curiga, tapi gue pikir mungkin dia kesepian. Eh, kita tinggal serumah, satu dapur, satu kamar mandi... dan ya loe tahulah, manusiawi lah ujungnya gimana."

"Waduh..." desah Sangen, sambil mengelus dagunya. "Mungkin istri loe mikir, daripada loe kawin lagi diam-diam dan bikin ribut, mending loe kawin sama adiknya sekalian. Masih satu gen juga, kan?"

"Awalnya gue juga mikir begitu. Tapi bro, masalahnya bukan cuma adik ipar. Dua staf kantor gue juga... sama."

Otong nyaris menjatuhkan gelas tehnya. "Hah? Yang dua lagi itu gimana ceritanya? Bukannya loe udah pengalaman? Harusnya tahu cara aman."

"Itulah dia. Kadang... ehm... ya, kalau suasananya mendukung dan... yah, tanpa pengaman tuh rasanya... beda. Lebih... intim."

"Oke, stop, stop!" potong Otong sambil mengangkat tangan layaknya polisi lalu lintas. "Intinya: loe kebablasan, dan sekarang lagi panen hasil dari kelalaian."

"Betul!" sahut Pak Priyatno penuh semangat, seolah mendapat simpati. "Sekarang, menurut loe, gue harus gimana?"

Lihat selengkapnya