“Ooh, baik, Bu. Terima kasih banyak atas sarannya,” ucap Otong tulus seraya menganggukkan kepala.
Wajahnya yang sedikit lesu seketika cerah kembali, seperti langit yang mendadak terang setelah hujan deras. Ia lalu pamit dengan sopan, berjalan cepat ke arah tempat parkir motor bebek tuanya, dan segera meluncur ke ujung pasar sayur.
Masih satu jalur dengan pasar di tepi Sungai Pawan yang ramai, meski becek dan kadang aroma ikan asin bisa mengagetkan hidung yang belum sarapan.
Petunjuk sang ibu-ibu penjual tadi cukup jelas. Dan benar saja, setelah beberapa menit mengendarai motor pelan-pelan sambil menajamkan mata, tampaklah sebuah rumah sederhana.
Rumah itu unik, dikelilingi pagar bambu dan penuh dengan kandang ayam kampung yang berkotek riang seperti sedang senam pagi.
Otong turun dari motor dan melongok ke dalam pekarangan.
“Selamat pagi... Ada orang di rumah?” panggilnya sopan sambil menoleh ke kiri dan kanan.
Suaranya berusaha setenang mungkin, meski degup jantungnya semakin cepat karena harapannya akan ubi kayu kini tinggal selangkah lagi.
Dari arah dapur, muncul seorang pria paruh baya dengan sarung dililit asal dan kaus berwarna pudar. Rambutnya acak-acakan, tapi senyumnya ramah.
“Ya? Ada perlu apa, Pak?” tanyanya.
Otong langsung menghampiri pagar dan berkata pelan, “Maaf, Pak. Saya mau tanya, apakah Bapak ada menjual ubi kayu segar?”
Pria itu menggaruk kepalanya yang tampaknya tidak gatal. “Ubi kayu, ya? Hmm... tinggal sisa sedikit, itu pun untuk makanan ayam. Udah nggak bagus lagi.”
“Oh, boleh saya lihat dulu, Pak?” pinta Otong penuh harap.
“Silakan, silakan. Ambil saja lihat ke belakang,” jawab sang pemilik rumah sembari menunjuk tumpukan di pojok kandang ayam.
Otong pun berjalan ke arah tumpukan ubi yang dimaksud. Meskipun tampak kurang segar, beberapa masih terlihat layak untuk diselamatkan. Ia mulai memilah dengan hati-hati, seperti memilih jodoh di antara sekumpulan kandidat yang sudah lama nganggur.
Lucunya, di saat ia sedang tekun memilih, belasan kalau bukan puluhan ekor ayam kampung ikut nimbrung. Mereka berebut ubi dengan semangat juang yang tak kalah dari fans K-Pop rebutan tiket konser.
Otong pun harus bersaing, kadang melotot ke ayam-ayam itu, kadang mengusir pakai tangan, tapi ayam-ayam itu malah seperti menanggapinya dengan “Maaf, kami duluan, Oom.”
Setelah drama berebut dengan ayam kampung itu selesai, Otong berhasil mengumpulkan sekitar dua kilogram ubi kayu yang cukup layak. Ia menyusunnya dengan rapi di tanah, lalu bertanya,
“Berapa, Pak, harganya?”
Namun sang pemilik rumah malah balik bertanya dengan mata menyipit penasaran, “Untuk apa ubi kayunya, Pak?”
“Oh, untuk istri saya, Pak. Lagi hamil muda, katanya ngidam ubi kayu goreng.”
Mendengar itu, pria tersebut langsung tersenyum lebar.
“Wah, kalau begitu... nggak usah bayar, Pak. Ambil saja. Dalam agama kami, membantu wanita hamil itu pahalanya besar. Apalagi untuk memenuhi ngidam. Itu semacam ibadah."