Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #77

77-Aroma Cinta dan Skandal Toilet

 

Pagi itu, Otong berdiri di kamar mandi sambil mematut bayangannya di cermin yang sudah mulai buram. Digosoknya ketiaknya dengan sabun sampai berbusa-busa seperti mau cuci piring, lalu ditatapnya leher dan dadanya dengan rasa curiga. Ia bertanya dalam hati, “Masa sih gue bau?”

Sudah beberapa hari ini, setiap kali mendekat pada istrinya, Bavik, istrinya yang sedang hamil muda itu langsung menegur dengan ekspresi meringis sambil menutup hidung. “Bang, lu kenapa sih sekarang baunya makin tajam? Kayak campuran keringat, bensin, dan dapur rendang!”

Otong cuma nyengir waktu itu. Tapi pagi ini, dia mulai merenung serius. Apa benar tubuhnya memang seburuk itu aromanya? Padahal menurut hidungnya sendiri, semuanya baik-baik saja. Ia bahkan sempat berpikir hidung istrinya itu sekarang lebih tajam dari anjing pelacak K9.

Namun, Otong juga tahu bahwa dirinya punya kebiasaan eksentrik sejak SMA: makan bawang merah dan putih mentah seperti ngemil kacang goreng. Kalau makan tanpa lauk, asal ada bawang, baginya sudah seperti pesta rakyat. Wajar saja kalau istrinya yang sedang hamil jadi sensitif, konon penciuman ibu hamil memang seperti detektor gas bocor.

Sambil mandi, Otong juga teringat betapa semalam ia dan Bavik seperti pasangan muda yang sedang bulan madu lagi. Keduanya saling menyayangi dalam pelukan yang penuh keintiman, sampai beberapa kali mereka sama-sama mencapai puncak bahagia.

Setelah itu, seperti habis olahraga lari maraton, keduanya tertidur lelap karena kelelahan.

Namun, tanggung jawab tetap tanggung jawab. Otong harus bangun lebih pagi dari matahari agar tidak telat kerja. Insentif harian yang ia dapatkan akan langsung hangus jika bolos sehari saja, dan bagi keluarga muda yang sedang menabung untuk menyambut buah hati, setiap rupiah adalah rejeki Tuhan yang tak boleh disia-siakan.

Selesai mandi, dia menyeruput kopi hitam yang tadi sudah diseduhnya sebelum masuk kamar mandi. Teh dan susu untuk istrinya ditutup rapat agar tidak diendus oleh lipas atau cecak yang sudah seperti hewan peliharaan bebas di mess mereka.

Setelah berpakaian rapi dan menyemprot cologne seadanya untuk menyaingi aroma keringat dari aroma bawangnya, ia pun mencium kening istrinya yang masih bergelung di balik selimut tipis.

“Sudah mau berangkat, Bang?” gumam Bavik sambil menguap.

“Ya, Dek. Gue berangkat dulu, ya.”

“Hati-hati, Abang. Lu kunci saja pintunya dari luar ya, gue lagi malas banget bangun. Rasa mual pagi ini belum hilang.”

“Ya, Sayang. Loe baring saja. Nanti pintunya gue kunci dari luar.”

Dengan langkah ringan namun penuh tanggung jawab, Otong memakai sepatu sneaker Adidas kesayangannya yang sudah agak pudar warnanya. Ia membuka pintu, mencabut anak kunci dari dalam, menggantungnya di tempat khusus yang ia pasang sendiri agar tidak perlu lagi ketuk-ketuk minta dibukakan pintu.

Dulu, waktu belum buat duplikat, ia harus membangunkan Bavik yang sedang asyik tidur siang atau sibuk menonton sinetron demi bisa masuk rumah. Sekarang, ia sudah mandiri secara logistik, walau soal mie instan nanti, itu cerita lain.

Lihat selengkapnya