Ternyata di dalam toko kecil itu, Otong mendapati tiga pria bertubuh besar dengan perut buncit seperti drum minyak, mata mereka kecil dan tampak sayu, mungkin karena kantuk yang belum sepenuhnya hilang.
Umur mereka tampaknya sekitar empat puluhan, dengan suara berat khas pria-pria yang sudah kenyang makan asam garam hidup di pelosok Kalimantan. Tapi yang mengerikan itu adalah ukuran tubuh mereka, rata-rata tingginya sekitar 180-190 centimeter.
“Aduh, maaf mengganggu, ya. Bisa beli mie instan?” tanya Otong dengan sopan sambil menyebutkan salah satu merek populer.
Salah satu dari mereka mengangguk, “Oh, ada, Pak. Mau yang mie rebus atau mie goreng?”
Otong berpikir sejenak. “Goreng saja deh,” jawabnya mantap.
Ia tahu betul kalau mie goreng itu lebih enak dimakan mentah karena bumbunya lengkap. Berbeda dengan mie rebus yang biasanya hambar kalau tidak ditambah telur atau sambal cabai rawit.
Salah satu pria menyebutkan harga yang sontak membuat alis Otong naik ke atas.
“Itu harga satu dus, Pak. Kita tidak jual eceran, soalnya ini sub-agen,” jelas pria lainnya cepat-cepat, membaca reaksi terkejut di wajah Otong .
“Ooh...” sahut Otong dengan anggukan pelan. Barulah ia sadar, mereka bukan toko kelontong biasa. Mereka agen, dan tidak ada yang namanya beli satu bungkus di tempat seperti ini.
“Ndak apa-apalah,” katanya akhirnya. “Saya ambil satu dus mie goreng itu, yang rasa ayam bawang, ya.”
Setelah membayar, Otong memanggul dus mie itu di bahu kirinya dan berjalan pulang ke mess. Keringat mengalir di pelipis, kausnya basah, dan langkahnya agak gontai. Tapi di hatinya, ada cinta yang membara, cinta pada seorang istri yang sedang mengandung anak mereka.
Begitu ia tiba di mess, Bavik sudah berdiri di depan pintu, bersandar sambil mengelus perutnya. Melihat Otong memanggul dus mie sebesar peti harta karun, matanya langsung berbinar.
“Lamanya Abang! Adek sudah hampir nyusul tadi,” celetuk Bavik dengan wajah polos, seolah ide itu masuk akal.
Otong terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan, “Amit-amit, lu lakukan hal konyol begitu. Ini sudah lewat tengah malam, Dek. Bahaya banget.”
“Ndak, Adek cuma khawatir aja sama Abang,” sahut Bavik lembut.
“Tapi justru itu yang membahayakan diri lu.”
“Ndak apa-apalah.”
“Heh! Dengar ya, jangan pernah lu punya pikiran aneh seperti itu lagi,” sergah Otong, kali ini dengan suara lebih tegas.
“Kok aneh sih, Bang?”
“Ya anehlah! Dengar baik-baik, lu itu nggak sendiri lagi. Ada makhluk kecil dalam perut lu. Kalau lu nekad ngikutin pikiran iseng macam itu, berarti lu membahayakan dua nyawa sekaligus.”
“Ooh, ya yaa...” seru Bavik, kaget.