Hari itu, langit masih malu-malu membuka tirai siang. Matahari belum menyentuh titik puncak, namun sinarnya yang hangat telah cukup mengundang kantuk. Otong dan Bavik sedang berbaring santai di tempat tidur mess perusahaan mereka.
Udara kamar yang setengah teduh itu terasa nyaman, dengan angin sepoi dari kipas angin meja yang menderu pelan. Mereka menghabiskan waktu untuk ngobrol santai sambil menunggu sore hari, saat mereka berencana kembali ke kota untuk mengambil hasil foto pengantin yang mereka buat pagi tadi.
“Tadi lo lihat gaya kita pas difoto? Gue rasa itu bakal jadi kenangan abadi, Bang,” kata Bavik sambil tertawa kecil.
Otong membalas dengan senyum penuh cinta. “Yang penting bukan gaya, Sayang. Tapi siapa yang ada di samping gue waktu itu. Itu yang abadi.”
Namun, suasana damai itu tiba-tiba terpecah oleh suara teriakan dari luar rumah. Suara itu menggema dan makin lama makin ramai:
“Ada kebakaran! Kebakaran! Kebakaran! Ada kebakaran!”
Otong sontak bangun dari tempat tidur. Instingnya sebagai kepala keluarga langsung menyala; ada ancaman, dan ia harus sigap. Ia buru-buru menuju pintu depan untuk memastikan apakah kebakaran itu terjadi di sekitar lingkungan mereka.
Bavik yang masih setengah duduk di atas kasur ikut panik. Ia lupa bahwa dirinya sedang hamil muda. Refleks saja, ia berdiri dan ikut berlari mengikuti suaminya. Namun sial, karena terburu-buru, kakinya tersangkut karpet kecil yang memang selalu bikin orang terpeleset. Tubuhnya oleng, dan…
Gedubraaaaakkk …Dug!
Ia jatuh terhempas cukup keras ke lantai, terduduk dengan suara cukup nyaring. Seketika wajahnya meringis menahan nyeri di pantanya. Tangannya refleks memegang bagian belakang tubuhnya, tepat di pantat.
Otong yang nyaris membuka pintu depan sontak membalikkan badan dan berlari ke arah kamar. Wajahnya berubah panik ketika melihat istrinya terduduk di lantai dengan ekspresi kesakitan.
“Lu nggak apa-apa, Sayangku?” tanyanya cepat sambil mengulurkan tangan membantu Bavik bangkit.
“Pantatku terhempas, Bang…” jawab Bavik dengan suara tertahan, menahan nyeri.
“Kuat, nggak? Serius, lu kuat?” Otong terlihat benar-benar khawatir. Ia pernah baca bahwa ibu hamil muda rentan keguguran kalau sampai terjatuh, apa lagi pantanya terhempas.
“Kuat… kayaknya,” jawab Bavik lirih, meski wajahnya belum bisa tersenyum.
Dengan cekatan, Otong membantu istrinya berdiri. Lalu, tanpa pikir panjang, ia menggendongnya kembali ke tempat tidur.
“Bagian mana yang paling sakit, Sayang?” tanyanya sambil menatap lekat wajah istrinya.
“Pantat gue, Bang…” jawab Bavik jujur, lalu tertawa kecut.
Otong membuka rok istrinya dan dengan penuh kehati-hatian menurunkan celana dalamnya. Tampak bagian bokongnya agak memerah.
Ia segera mengambil minyak param dari meja kecil, menuangkannya ke telapak tangan, lalu menggosoknya perlahan ke kulit istrinya. Setelah itu, dengan gerakan terampil dan penuh kasih, ia memijat lembut area sekitar tulang ekor.
Beberapa menit kemudian, ia bertanya, “Masih sakit, Say?”
“Udah mendingan, Bang. Panas-panas dikit aja,” sahut Bavik .
“Lu istirahat aja di sini. Gue mau cek ke luar, kebakaran di mana,” ucap Otong sambil mengenakan sandal jepitnya.
“Iya, Bang. Hati-hati ya,” sahut Bavik yang kini mulai bisa tersenyum.
Otong pun keluar rumah. Di luar, orang-orang masih terlihat berlarian dan berkerumun, sebagian menunjuk-nunjuk ke kejauhan. Ia melihat Pak Priyatno, tetangganya yang dikenal cerewet tapi informatif, berdiri di antara kerumunan bersama adik iparnya.