90-Potret Kasih, Janin, dan Oplet Nakal
Setelah berdiri beberapa saat di tepi trotoar yang mulai menghangat oleh cahaya matahari siang, Otong memandangi sisa-sisa puing kebakaran yang masih mengepulkan asap tipis. Pasar di seberang mereka itu seperti luka baru yang masih berdenyut hangus, hangat, dan penuh cerita duka.
“Sayang,” ujar Otong sambil menghela napas panjang, “kita cari studio foto lain saja. Yang di seberang sana mungkin masih selamat.”
Bavik hanya mengangguk pelan. Wajahnya masih agak pucat, mungkin karena jatuh tadi pagi atau karena pikirannya terus melayang pada kemungkinan buruk tentang janin dalam kandungannya.
Tak butuh waktu lama, Otong melihat sebuah papan nama bertuliskan Studio Foto Sehati. Tidak terlalu besar, bahkan terkesan lawas, tetapi pintunya terbuka dan ada pendingin ruangan yang menyembul dari dinding kaca depannya. Itu sudah cukup menjadi alasan untuk masuk.
Otong menghampiri meja resepsionis yang dijaga seorang pria berbadan tambun dengan rambut disisir rapi ke samping. Umurnya mungkin sepuluh tahun di atas Sangen, dan logat bicaranya mengingatkan pada paman-paman di iklan obat jantung.
“Maaf, bisa buat foto gandeng, Pak?” tanya Otong sopan.
“Ooh, bisa. Foto apa saja bisa. Mau warna atau hitam putih?”
“Hitam putih saja.”
“Mau biasa atau kilat?”
Otong mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
“Kalau biasa itu tunggu beberapa hari baru jadi. Kalau kilat, bisa ditunggu sekarang.”
“Oh... Begitu. Tapi... foto kilat itu cepat pudar, ya?” tanya Sangen, sedikit curiga. Ia pernah mendengar kisah horor soal foto kilat yang luntur seperti kenangan cinta masa lalu.
“Ooh tidak! Kami pakai kualitas terbaik. Ini bukan foto kilat murahan. Ini foto biasa, tapi diproses cepat. Cuma, harganya yaa... adak mahal dikit lah.”
“Berapa?” tanya Otong dengan wajah yang sudah bersiap untuk tertawa pahit.
Petugas itu menyebutkan nominalnya, dan Otong hampir terbatuk. “Itu sih bukan mahal dikit, tapi seratus kali lipat dari studio langganan di kampung,” gumamnya dalam hati.
Namun dia tetap mendiskusikannya dengan Bavik, yang langsung menyerahkan keputusan padanya.
“Bolehlah, Pak,” kata Otong akhirnya.
“Yang mana, Pak?”
“Kilat.”
“Baiklah. Silakan masuk ke studio, Pak.”
Otong dan Bavik masuk ke dalam ruangan studio yang cukup bersih dan wangi. Cermin besar di dinding membuat mereka bisa merapikan rambut dan posisi kerah baju. Sang fotografer, seorang pria muda yang tampaknya baru selesai kuliah jurusan seni, mengatur posisi duduk mereka beberapa kali sebelum memotret.
Hasilnya selesai hanya dalam lima belas menit.
Meski harganya membuat hati Otong agak perih, tapi kalau dibandingkan dengan harus kembali ke kota, naik oplet lagi, dan risiko lainnya, dia pasrah.
Yang penting fotonya jadi dan mereka tak perlu bolak-balik. Toh, itu kenangan pertama mereka sebagai pasangan calon orang tua.