Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #81

81-Cinta, Kekhawatiran, dan Sayur Segar

 

Setiap pulang kerja lembur pagi, Otong selalu menanyakan kondisi kesehatan istrinya dengan nada penuh kasih, seolah-olah sedang bertanya kepada bunga kesayangan apakah sudah disiram atau belum.

Kekhawatiran itu bukan tanpa sebab. Ia merasa tidak tenang meninggalkan Bavik  sendirian semalaman di mess, apalagi sejak insiden beberapa hari lalu ketika istrinya terjatuh karena panik mendengar kabar kebakaran.

Setelah kejadian itu, hati Otong tak pernah betul-betul tenang. Ia sudah beberapa kali menawarkan ide: mencari seorang gadis, tentunya perempuan baik-baik, untuk menemani Bavik  tidur jika ia harus kerja malam.

Tapi Bavik, dengan senyum tipis dan nada lembutnya yang khas, selalu menolak.

“Aku sudah sehat, Mas. Sekarang juga sudah bisa tidur sendiri kok. Lagipula, suara-suara aneh dari kamar mandi itu juga sudah nggak kedengaran lagi,” katanya dengan keyakinan yang menciptakan sedikit rasa lega di hati Otong .

Namun, sebagai suami yang sayang dan selalu ingin memastikan segala sesuatu terkendali seperti petugas jaga malam yang tak pernah tidur, Otong tetap tak bisa sepenuhnya tenang.

Sambil berjalan pulang melewati gang kecil menuju mess, pikirannya melayang-layang.

Apakah mungkin jiwa yang dulu mereka doakan, jiwa yang sempat bikin suara kecipak air di kamar mandi padahal tidak ada siapa-siapa—sudah diampuni dan kini tenang di surga?

Semuanya tetap misteri. Tapi bukankah iman itu memang begitu? Tidak terlihat, tidak terdengar, tidak tercium, tapi dipercaya.

Otong mengingat kembali janji mereka kepada Romo beberapa bulan lalu. Mereka berdua sepakat untuk mendoakan jiwa tersebut dengan sepenuh hati; melalui doa, puasa, pantang, dan matiraga.

Ini bukan karena mereka terlalu beriman, tapi karena mereka merasa bertanggung jawab. Entah bagaimana, sejak mereka mendoakan, suara-suara aneh itu memang berhenti.

Otong menarik napas panjang. Dunia ini memang aneh. Yang sungguh-sungguh menjalankan agamanya, justru tak merepotkan orang lain. Mereka tak suka pamer, tak suka cari sensasi, tak iri, tak suka marah-marah di jalan, tak baperan, apalagi menyusun rencana jahat diam-diam sambil tersenyum manis.

Mereka tulus dan ringan dibawa ngobrol, mereka adalah yang mengerti bahwa sesama manusia adalah makhluk Tuhan yang punya martabat setara. Mereka tak ingin menyakiti, karena sadar, menyakiti sesama itu sama dengan menghina Tuhan.

Karena itu, orang jahat yang punya kekuasaan adalah bencana. Mereka bisa mengangkat tangan dan ratusan nyawa hilang. Mereka bisa menandatangani surat dan ratusan hutan habis terbakar.

Semua umat manusia sejatinya ingin hidup damai, makan tempe goreng dengan tenang, minum teh panas sore hari tanpa takut diserbu kebohongan atau peluru nyasar.

Lihat selengkapnya