“Mbak, kami masuk dulu ya,” desis Bavik sopan sambil menunduk sedikit, memberi hormat pada ibu tetangga yang berdiri anggun di pagar pembatas rumah mess mereka.
“Ya, cantik,” sahut ibu muda itu dengan suara renyah dan senyum manis khas ibu-ibu yang suka bergosip, tapi tetap ramah.
Karena ibu tetangga itu berdiri cukup dekat dengan pagar sejak Bavik keluar tadi, maka sebelum masuk ke dalam rumah, Bavik mencubit tangan ibu tetangga itu pelan dengan senyuman jahil.
“Aku nggak bawa uang kecil, Bu. Ini saja ya,” kata Bavik sambil mencubitnya perlahan ….
Ibu tetangga cuma nyengir geli, lalu pura-pura menahan tangan Bavik sambil berkata, “Sudah, masuk sana! Tuh, suaminya baru pulang tuh. Mungkin minta ditemani minum teh atau kopi!”
Bavik langsung tertawa kecil sambil melirik Otong yang baru saja berjalan pelan menuju pintu, walau wajahnya tidak terlalu kelihatan tampan, tetapi semuanya lengkap dan berfungsi sempurna, dia dengan gaya lelah khas pria tangguh yang baru pulang kerja keras.
“Bang, katanya butuh ditemani minum kopi tuh,” ujar Bavik menggoda, membuat Otong mengangguk pasrah seperti singa tua yang sudah jinak.
Setelah mengucap pamit sekali lagi, pasangan muda itu masuk ke mess mereka yang mungil namun hangat. Begitu masuk, Otong langsung menaruh sepatunya di rak, walaupun sebelahnya sudah copot solnya akibat dipakai kerja seminggu tanpa istirahat.
Langsung saja dia menuju dapur dan mengambil gelas. Dua, tiga, empat tegukan air putih ia tenggak habis tanpa jeda.
Haus … legaaaa …
Badannya benar-benar kehausan setelah berjalan cukup jauh dari lokasi kerja. Di luar, cuaca memang agak terik meski matahari belum benar-benar garang.
Tapi rupanya, bidadarinya sudah lebih dulu bersiap. Bavik , dengan perut mudanya yang mulai membuncit, telah menyiapkan dua cangkir; satu berisi kopi, satu lagi teh.
Keduanya disiapkan lengkap dengan piring kecil berisi kue kering andalan mereka: nastar dan kue kacang yang rasanya sudah seperti warisan keluarga.
“Kita minum di belakang, Bang!” ujar Bavik dengan semangat.
Otong mendongak, sedikit heran.
“Tapi di belakang itu banyak debu halus, Dek. Nggak bersih. Nanti kamu malah batuk-batuk.”
“Tapi pagi ini, entah kenapa, aku pengin duduk di situ. Sama Abang. Please?” pinta Bavik dengan suara manja yang bisa meluluhkan hati satpam paling galak sekalipun.
Otong menghela napas. Sejak Bavik hamil, mood-nya memang bisa berubah dari pelangi jadi badai dalam dua menit. Maka ia memilih menyerah, damai.
“Ya deh,” jawabnya.
Otong pun membuka pintu belakang mess tempat keduanya dan menyapu pelan lantai semen kasar yang sudah mulai berlumut itu. Ia juga mengelap pagar kayu seadanya.
Setelah itu, ia membawa dua kursi kayu dan sebuah meja kecil dari dalam rumah, meskipun kaki meja itu sudah goyah dan pernah hampir membuat teh tumpah ke celana minggu lalu.
Bavik menyusul dengan hati-hati membawa nampan berisi kopi, teh, dan kue. Otong segera menyambut, mengamankan posisinya di tangan agar tidak tumpah.