“Ada hewan liar lewat!” terdengar suara seperti koor.
Teriakan tetangga terdengar seperti alarm darurat dari pengeras suara masjid yang nyasar frekuensi. Serempak orang-orang keluar dari rumah, ada yang cuma pakai daster bolong, ada yang bawa sapu lidi, bahkan ada pula yang sigap dengan galah bambu seperti mau panen mangga darurat.
Purba, si tetangga yang terkenal suka panik tapi tidak pernah panik pada waktunya, terlihat lari pontang-panting sambil menunjuk-nunjuk ke arah depan rumah tetangga. “Lewat sana! Lewat sana!” teriaknya sambil ngos-ngosan seperti habis dikejar tagihan utang.
Otong keluar dari rumah dengan langkah mantap. Ia baru saja menyesap setengah cangkir kopi buatan istrinya, Bavik, ketika kekacauan itu terjadi. Dari kejauhan tampak seekor makhluk berkulit sisik keabu-abuan, berlari ke sana ke mari seperti mahasiswa semester akhir yang cari dosen pembimbing.
“Biawak!” seru Otong penuh semangat.
Dia segera meraih parang yang digantung di dinding rumahnya tadi. Bukan untuk kekerasan, tentu saja. Ini tradisi lokal, kalau ada hewan liar masuk kampung, itu berarti rejeki.
Dengan gaya lompatan yang mengingatkan pada adegan laga film tahun '90-an, Otong mengayunkan parangnya. Sayangnya, biawak itu lebih gesit daripada ekspektasi hidup di usia tiga puluhan.
Dengan lincahnya, hewan itu menghilang di balik semak-semak, meninggalkan Otong terpaku sambil mengatur napas seperti atlet bulu tangkis yang gagal smash.
“Huft... hampir saja,” gumamnya, padahal memang jauh pangangg dari pada api.
Ia berjalan kembali ke arah Bavik yang berdiri di teras sambil mengerutkan dahi dan menggenggam cangkir teh dengan dua tangan.
“Hewan apa sih itu, Bang?” tanya Bavik sambil mengipas-ngipas bajunya yang tersenggol angin kepanikan tetangga tadi.
“Biawak,” jawab Otong singkat.
“Komodo, maksudnya?” wajah Bavik polos, tapi serius.
Otong nyengir. “Itu biawak, Sayang. Bukan Komodo.”
“Ooh... jadi bukan Komodo?”
“Bukan. Semua hewan seperti itu disebut biawak. Nah, yang di Pulau Komodo itu juga biawak, cuma ukurannya segede dosa.”
Bavik mengerutkan kening. “Maksud lu, Bang?”
Otong menghela napas panjang, seperti guru yang sabar menghadapi murid yang mengira domba bisa bertelur.