“Wah, hebat juga, ya…” gumam Otong sambil matanya mengikuti benang layangan yang menjulur panjang ke langit, seolah menghubungkan bumi dan surga dalam satu garis yang tak putus.
Di depannya, langit membentang biru seperti hamparan kanvas raksasa. Awan-awan putih mengambang pelan, membentuk lukisan tak bernama yang berubah setiap menit.
Cahaya mentari sore menyelinap di sela-sela gumpalan awan, menari-nari di pucuk daun kelapa yang meliuk lembut dihembus angin laut. Suara desir ombak jauh di kejauhan berpadu harmoni dengan suara anak-anak tertawa mengejar layangan yang putus.
Otong mendongak, matanya memicing menatap langit. Satu layangan tampak melayang tinggi, begitu tinggi hingga benangnya tampak seperti benang sutra yang ditarik lembut oleh tangan-tangan kecil di bumi. Layangan itu menari perlahan di angkasa, seolah sedang menari untuk Tuhan.
“Indah betul, ya…” bisiknya lagi, kali ini seperti berbicara pada semesta.
Langit, angin, cahaya, dan laut, semuanya hadir dalam satu komposisi sempurna. Dan di tengah keagungan itu, hanya seutas benang tipis yang menghubungkan makhluk kecil bernama manusia dengan langit luas tak berbatas.
Betapa kecilnya manusia, pikir Otong. Namun, justru dalam keterbatasannya itu, manusia diberi kemampuan untuk merenung, untuk mengagumi, untuk bertanya dan bersyukur.
Siapakah yang melukis langit dengan warna-warna tenang seperti itu? Siapakah yang menaburkan bintang-bintang di malam hari dan menciptakan matahari terbit di ufuk timur setiap pagi tanpa pernah telat barang sedetik?
“Tuhan memang luar biasa…” desah Otong, matanya tetap menatap langit.
Ia teringat masa kecilnya di desa. Saat itu ia sering berlari ke bukit hanya untuk menatap matahari terbenam. Ia dan teman-temannya akan duduk di rumput sambil saling diam. Bukan karena tidak punya bahan bicara, tapi karena tak sanggup menyela simfoni cahaya jingga yang melukis langit, seolah alam sedang berdoa dalam bahasa yang tidak dikenal manusia, tapi dirasakan dalam dada.
Dan kini, bertahun kemudian, di tepi pantai, Otong merasakan hal yang sama.
Layangan itu bukan sekadar mainan. Ia adalah simbol. Simbol kerinduan manusia untuk menyentuh langit. Simbol bahwa kita masih ingin percaya bahwa hidup bukan hanya tentang berlari dan mengejar, tapi juga tentang menatap dan mengagumi.
Angin yang meniup layangan itu tak terlihat, tapi ia nyata. Seperti halnya kasih Tuhan, tak selalu tampak, tapi mengangkat kita untuk terbang di atas batas diri kita sendiri.
Otong tersenyum sendiri. Ia tahu, tak semua orang bisa punya waktu untuk berhenti sejenak dan memandangi langit. Tapi ia bersyukur, hari itu, ia sempat. Di tengah segala hiruk-pikuk dunia, ia sempat menatap langit dan merasa kecil, namun berharga.
“Terima kasih, Tuhan… untuk langit, untuk angin, untuk waktu yang Kau beri agar aku bisa mengagumi-Mu,” gumamnya lirih.
Angin bertiup pelan, mengusap wajahnya seperti belaian lembut seorang ibu. Dan di depannya, layangan itu masih menari, bebas, tinggi, dan tak tergapai. Seperti keindahan, seperti harapan, seperti iman yang terbang menuju sesuatu yang lebih agung dari kata-kata.
“Ya, Bang,” sahut salah satu warga sambil memegang gulungan benang yang tebal. “Makanya tali layangannya pakai kawat baja ringan, dan pancingannya itu tali pancing laut yang kuat. Kalau enggak, bisa putus dihajar kalong yang berat itu.”
Otong mengangguk-angguk, kagum. “Eh, permisi, Pak. Jadi… kalong yang ditangkap ini buat apa, ya?”
“Sebagian buat konsumsi keluarga sendiri. Sisanya kami jual di pasar. Banyak yang cari, soalnya katanya bagus buat obat asma,” jawabnya bangga, seperti sedang mempromosikan produk unggulan daerah.
“Ooh ya?” sahut Otong, penasaran tapi juga agak ngeri membayangkan daging kalong dimasak rica-rica.
“Iya. Banyak yang bilang khasiatnya manjur. Kalau ndak percaya, tanya saja ke orang-orang sini.”
Otong lalu menoleh ke sekeliling. Pandangannya menyapu lapangan luas di tepi pantai itu. Puluhan orang berdiri memegang layangan seperti sedang memancing. Tapi bukan di laut. Mereka memancing ke langit.