Sementara Otong sedang mandi, Bavik membuka lalu membaca surat dari orangtuanya. Inti dari surat itu adalah permintaan agar Bavik pulang ke kampung halamannya menjelang bulan-bulan melahirkan anak.
Alasannya cukup masuk akal: ibunya tidak bisa datang ke Ketapang karena tak mungkin meninggalkan ayah Bavik sendirian di rumah. Sang ibu, yang bekerja sebagai bidan, juga tidak mungkin membawa serta suaminya yang kondisi kesehatannya sering menurun.
Dengan pertimbangan itu, orangtua Bavik menyarankan agar Bavik sendirilah yang pulang ke Nanga Pinoh.
“Papa dan Mama minta aku melahirkan di Nanga Pinoh saja, Bang,” seru Bavik saat Otong keluar dari kamar mandi, yang juga merangkap sebagai WC di mess mereka itu.
“Oh, iya?” sahut Otong sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk kecil yang sudah mulai tipis dimakan usia. “Menurutmu bagaimana, Dek?”
“Menurut Bang Otong bagaimana dulu?” jawab Bavik, malah balik melempar pertanyaan sambil tersenyum geli.
Otong meletakkan handuknya, lalu meraih celana training dan kaus oblong yang tergantung di rak kayu dekat tempat mereka berdiri.
“Apakah Mama enggak bisa datang ke sini saja?” tanya Otong sambil menyarungkan kaus ke tubuhnya.
“Papa lagi kurang sehat. Katanya, akhir-akhir ini makin sering kambuh. Jadi Mama enggak bisa jauh-jauh dari rumah,” jawab Bavik dengan nada sedih.
Otong mengangguk pelan. Tiba-tiba saja Ia jadi teringat obrolan pagi tadi saat diajak Pak Priyatno ngopi di kantin kantor. Di tengah perbincangan santai, seorang staf muda duduk tepat di seberangnya, dan entah bagaimana, posisi duduk gadis itu agak… menantang.
Dari bawah meja, terlihat ujung pahanya menyembul karena rok mini yang terlalu naik. Otong sempat tertegun. Dia tak tahu apakah itu disengaja atau si staf memang tak sadar? Yang jelas, pemandangan sekilas itu sempat membuyarkan konsentrasinya.
Dan rupanya, tubuh Otong masih menyimpan sisa efek dari kejadian itu, karena perangkat kerasnya tiba-tiba bereaksi saat ia berdiri dekat Bavik. Refleks, Bavik melirik ke bawah.
Ia mencibir sambil berkata setengah berbisik dengan nada geli bercampur jengkel, “Huh, dasar perangkat enggak tahu tempat.”
Lalu dengan gaya manja namun penuh kuasa, Bavik menjulurkan tangannya dan memijit perlahan bagian yang tengah “menegangkan suasana” itu, seolah ingin menenangkan bukan hanya suaminya, tapi juga perangkatnya yang sedang overaktif.
Otong hanya tersenyum menikmati ulah jahil istrinya. Ia tahu benar, tangan Bavik kadang lebih cepat bertindak daripada pikirannya.
“Ayo, siapkan makanannya, yuk. Kita makan sambil ngobrolin soal tawaran Papa dan Mamamu itu,” ucap Otong sambil mengelus lembut rambut istrinya, sebuah usaha elegan untuk mengalihkan perhatian dari ‘tindakan spontan’ tadi.
Benar saja, Bavik langsung beringsut ke dapur dan mulai menyiapkan makan malam mereka. Urusan cubit-mencubit tadi pun segera terlupakan, digantikan aroma bawang goreng dan sambal terasi yang menyeruak dari dapur mungil mereka.
Tak lama kemudian, semuanya telah tertata rapi di atas meja makan yang juga merangkap sebagai tempat menyetrika, mengupas bawang, sekaligus meja kerja Otong bila sedang WFH.
Hidangan mereka malam itu sederhana; ikan goreng, sayur bening bayam, dan tempe bacem, namun terasa istimewa karena dimasak dengan cinta dan sedikit kehebohan tadi.
Otong membuka percakapan, “Jadi, kalau kita pulang ke Nanga Pinoh, kira-kira mulai kapan nih kita siap-siapnya?”
Bavik masih belum bisa menjawab, karena mulutnya masih penuh dengan diplomasi terhadap sayurnya.
Malam itu, Bavik menyajikan menu istimewa ala dapur kreatif rumahan: ikan mackerel kalengan yang dimasak kering dengan irisan tomat segar, rebusan terung pipit yang pahit-pahit sedap, ditambah telur ayam goreng berbumbu Masako, praktis tapi lezat.
Sebagai pelengkap wajib, ada sambal cabai rawit dengan terasi dan taburan ikan teri Medan, favorit Otong yang entah bagaimana juga menular ke Bavik sejak menikah.
“Nantilah kita pikirkan bersama, sekarang kita selesaikan makan dulu,” ujar bavik.
Karena sudah masuk jam makan malam dan perut keduanya sama-sama keroncongan, mereka pun menyantap hidangan itu dengan penuh semangat. Piring demi piring pun tandas dalam sekejap.