Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #87

87-Nama Bayi-Membuat Marga

 

“Abang sih enggak masalah, laki-laki atau perempuan, dia tetap anak kita,” ujar Otong sambil mengelus perut Bavik yang tampak mulai membuncit. “Cinta kita ke dia harus sama. Nggak boleh beda.”

“Tapiii... perkiraan Abang,” Bavik menggoda dengan nada genit, “dia ini cowok atau cewek?”

Otong mengangkat alis, menatap istrinya yang duduk di pinggiran ranjang sambil ngemil jambu kristal.

“Abang bukan cenayang, Say. Tapi... melihat kelakuannya yang suka nendang tanpa aba-aba, dan gaya kamu yang mendadak suka angkat galon, ngecat lemari, dan bertukang segala, Abang curiga dia laki-laki. Kalau pun perempuan, pasti tomboy.”

Bavik tertawa kecil, lalu mengangguk. “Iya, sih. Dulu waktu awal hamil, aku tuh seneng banget nyapuin lantai mess, betulin gagang pintu yang lepas, ngecat rak buku, pokoknya kerjaan cowok semua aku sikat. Seakan-akan energi jantannya nular ke aku.”

Otong hanya tersenyum. Ia tahu, di balik wajah mungil istrinya itu tersimpan keberanian dan ketegaran luar biasa.

“Tapi bagaimanapun, kita terima apa pun yang Tuhan beri,” ucap Otong sambil mengelus perut istrinya yang membuncit. “Jenis kelamin itu urusan surga. Yang penting anak kita sehat, lahir selamat.”

Bavik tersenyum haru, matanya berkaca-kaca. Ia tahu, di dunia ini masih banyak orang yang mengidamkan anak laki-laki atau perempuan. Tapi suaminya berbeda. Ia menerima segalanya dengan hati penuh syukur.

“Terima kasih, Bang,” bisiknya.

“Anak itu anugerah. Mau laki-laki, perempuan, bahkan kembar lima sekalipun, tetap kita cintai,” jawab Sangen sambil terkekeh.

Athalia tertawa, merasa damai.

“Ya sih, Bang...” Bavik mencubit kecil lutut suaminya. “Ngomong-ngomong, kalau nanti lahir, kamu mau kasih dia nama apa?”

“Ah, itu dia topik beratnya,” ujar Otong sambil membuka buku catatannya. “Gimana kalau kita cari dari daftar nama di buku khusus tentang Santo dan Santa? Itu kan biasa di agama kita.”

Bavik mengangguk cepat. “Boleh. Tapi jangan lupa, harus unik. Ada berarti. Dan... kalau bisa, mengandung identitas kita berasal dari mana.”

Otong tersenyum. “Berarti bukan sekadar nama, ya. Tapi doa, harapan, dan sejarah hidup yang akan terus dibawa.”

Otong tersenyum lebar. “Setuju. Abang malah kepikiran, gimana kalau anak kita juga punya marga?”

Lihat selengkapnya