Menteng, atau gang Mendawai Tengah di jantung kota Pontianak, sudah seperti rumah kedua bagi Otong dan saudara-saudaranya selama masa kuliah dulu.
Kini, giliran adik-adiknya yang menempati rumah kost itu. Otong datang bersama Bavik, istrinya, dari Ketapang dengan pesawat kecil dan langsung menyewa taksi resmi dari Bandara Supadio.
“Syukurlah, adik-adikku ada yang di rumah,” gumam Otong , begitu taksi berhenti di depan rumah kost yang dulu penuh kenangan, melihat rumah itu masih terbuka.
Kebetulan waktu itu masih terhitung pagi, karena dari berangkat dari Ketapang tadi jam tujuh pagi.
Ketika pintu terbuka, muncullah seorang gadis, adik perempuannya, dengan pakaian tidur yang, menurut standar ketimuran, lebih cocok disebut “pakaian mabuk perhatian.” Tipis, pendek, dan membahayakan iman lawan jenisnya.
Otong menundukkan kepala sambil menghembus napas. Astaga. Ini kost, bukan acara fashion show ... pikirnya. Tapi ia memilih diam, berharap nanti sempat menasihati.
Setelah membayar taksi, Otong dan Bavik masuk membawa barang-barang. Di ruang tamu dan ruang keluarga terpampang tulisan besar di kertas manila, mencolok dan menyolok: “Jangan membawa sepeda motor jarak jauh (Nanga Pinoh), karena mesinnya tidak mampu.”
Otong membacanya serius. Bavik melirik suaminya dengan senyum nyinyir nan penuh kode. Mereka paham maksudnya, tapi memilih menahan komentar. Diam-diam, Otong meletakkan barang di ruang keluarga. Rupanya, dua kamar di dalam sudah penuh.
Tiba-tiba pintu kamar pertama terbuka. Seorang laki-laki keluar. Wangi parfumnya mendahului langkahnya. Bajunya rapi seperti akan melamar kerja, bukan kuliah.
“Eh, Bang!” sapanya sambil menyalami Otong dan Bavik . “Kapan datang?”
“Barusan,” jawab Otong sambil mengamati sikap ramah pria itu yang kelewat sopan. Terlalu ramah untuk ukuran orang yang tak dikenal.
“Naik apa? Pesawat atau kapal laut?” lanjut pria itu dengan senyum seperti penjaga toko parfum.
“Pesawat,” jawab Otong pendek. “Tapi pesawat kecil.”
“Maaf ya, Bang... Kakak...” katanya sambil membungkuk ala murid dojo Jepang, “Saya izin kuliah dulu, ya.”
“Ooh, silakan!” jawab Otong dan Bavik serentak, saling lirik dengan senyum bingung.
Begitu pria itu pergi, pintu kamar kedua terbuka. Dua adik laki-laki Otong keluar, masih setengah sadar dunia nyata. Mata mereka dikucek-kucek, rambut awut-awutan, seperti zombie yang baru dibangunkan.
Biasalah kelakuan anak muda sekarang, malam-malam main ponsel dan terlambat bangun besoknya. Masih syukur juga mereka masih bisa bangun agak pagi, kalau anak-anak lain, malahan bangun sore hari.
“Kalian nggak kuliah?” tanya Otong .
“Siang, Bang,” jawab mereka bersamaan, masih dengan suara parau.
Otong mulai menghitung: kamar satu sudah jelas ditempati dua adik laki-lakinya. Lalu kamar yang tadi pria parfum itu keluar? Itu kan harusnya kamar adik perempuannya. Apa itu suaminya? Sejak kapan nikah? pikir Otong .
Otong menarik napas dalam. Kekhawatirannya sebagai abang mulai muncul. Kumpul kebo? Tinggal sekamar tanpa nikah? Aduh, ini bukan drama Korea, ini realita... dan menyakitkan.
Mahasiswa sekarang, gaya tokoh reformis, tapi kerjaannya mabar dan binge-watching drakor. Kepala negara dicaci, tapi nilai ujian ambyar...
“Lu mau sarapan, Sayang?” tanya Otong pada Bavik yang sedang mengelus perutnya.
“Boleh,” jawab Bavik sambil duduk dengan susah payah. Kandungannya sudah tua, napasnya kerap pendek.