Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #89

89-Malam Panjang Menuju Nanga Pinoh


Bus eksekutif itu mulai bergerak perlahan, seperti raksasa tua yang baru bangun tidur. Ia menggerung pelan, lalu menanjak kecepatannya menembus jalanan kota Pontianak yang sudah mulai senyap.

Lampu-lampu jalan redup seperti kunang-kunang tua, dan malam itu, bulan purnama menggantung bulat dan terang, seolah Tuhan menyalakan lampu sorot hanya untuk mereka.

Cahaya keperakan itu menari-nari di kaca jendela bus, menciptakan bayangan lembut di wajah-wajah para penumpang yang duduk diam, sebagian gelisah, sebagian sudah pasrah.

Di kursi nomor 12C dan 12D, duduk sepasang suami istri muda. Otong, dengan tubuh kurus tinggi dan mata yang selalu tampak seperti sedang merenung, duduk dengan wajah tegang.

Di sebelahnya, Bavik, istrinya yang sedang hamil besar, bersandar dengan kepala sedikit menoleh ke luar jendela. Ia memeluk guling kecil warna biru muda, hadiah dari ibu mertuanya yang katanya bisa membantu mengurangi pegal saat perjalanan panjang.

Otong  tidak duduk santai. Di bawah kakinya, tersusun rapi delapan botol air mineral yang sudah dipotong dan diamplas mulus bagian mulutnya. Semua ia siapkan demi kenyamanan sang istri, kalau sewaktu-waktu Bavik  harus buang air kecil di tengah malam di dalam bus yang tidak tahu kapan akan berhenti.

Memang sih, di dalam bus tersedia WC. Tapi jangan bayangkan kayak toilet hotel atau pesawat mewah. Ini lebih mirip kandang ayam yang dipasangin galon. Dan soal pemakaiannya? Jangan coba-coba kalau kamu bukan ninja.

Apalagi di jalanan Kalimantan yang... yah, kalau bukan berlobang, ya bergelombang. Tiap lima detik, busnya seperti loncat-loncat pakai trampolin! Mau buang air kecil? Lupakan! Kencing di WC bus Kalimantan itu ibarat main game “Survivor Toilet Challenge”.

Kalau kamu bisa pipis tanpa terciprat, kamu pemenangnya!

Sekarang bayangkan jika wanita hamil besar masuk ke situ. Waduh, itu bukan buang air kecil, itu latihan akrobat sirkus. Bisa-bisa dia keluar sambil pegang lutut sambil bilang, “Aku cuma mau pipis, tetapi aku merasa mau melahirkan?”

Makanya, Otong lebih milih bawa delapan botol air mineral. Lebih aman, lebih privat, dan yang jelas: tidak ada risiko terpeleset sambil jongkok di dalam bis yang goyangannya lebih heboh dari dangdutan!

Kalau istrinya mau kencing, jongkok saja dalam bus, dan kencing. Kan gelap, siapa juga yang lihat. Nanti ketika berhenti, tinggal buang botolnya …

Setiap botol juga sudah dilabeli dengan spidol merah: “1”, “2”, “3”, hingga “8”, lengkap dengan kantong plastik kresek di sampingnya, untuk menghindari tragedi aroma yang tak diinginkan.

“Seandainya ada lomba suami siaga nasional, abang pasti juara umum,” kata Bavik, tersenyum sambil mengelus lengan suaminya.

Otong menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum kecut. “Abang bukan takut kalah lomba, tapi takut bau bus ini bikin kita dilempar ke jalan sebelum sampai Nanga Pinoh.”

Di balik kemesraan mereka, bus itu seperti wahana uji nyali. Sopirnya adalah anak muda bertampang sangar dengan logat keras dari luar Kalimantan.

Lagu-lagu daerah dari kampung halamannya diputar nyaring, bercampur dengan dengung mesin dan aroma tajam dari minuman keras yang disimpannya dalam kantong plastik hitam di dekat pedal gas.

Di sisi lain, kopi kental hitam legam dalam botol air mineral bekas berjejer rapi seperti senjata perang.

Dan cara menyetirnya? Ah, jangan ditanya. Bus itu tidak sekadar berjalan; ia berlari, berjingkrak, dan kadang terasa seperti melayang. Seperti setan yang sedang naik daun, sopir muda itu membawa mereka dalam balapan maut melawan malam.

Lihat selengkapnya