Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #90

90-Godaan Malam Yang Gelap

Setelah berhasil mengantarkan Bavik, istrinya tercinta, kembali ke Nanga Pinoh dalam keadaan sehat dan selamat, Otong pun kembali ke Ketapang untuk melanjutkan pekerjaannya di perusahaan tempat ia mencari nafkah.

Waktu cutinya hanya lima hari. Dan sesuai janjinya kepada atasan, ia tidak boleh telat kembali.

Bekerja di perusahaan milik perorangan memang membutuhkan kedisiplinan tingkat tinggi. Tidak ada toleransi besar seperti di kantor pemerintahan atau perusahaan negara.

Di perusahaan keluarga seperti ini, semua otoritas berada pada pemilik modal dan keluarganya. Sekali mereka tidak senang, tanpa surat cinta pun surat pemutusan kerja bisa langsung melayang.

Berbeda jauh dengan para ASN, Aparatur Sipil Negara, yang bisa dibilang hidupnya cukup stabil. Bahkan kalau mereka libur mendadak pun, kadang cukup ditegur, dan urusan selesai.

Sakit setahun pun gaji tetap mengalir. Belum lagi yang bekerja di BUMN. Sudah seperti negara dalam negara. Mau ngantar anak ke sekolah dulu? Bisa. Nongkrong di kafe siang bolong? Aman.

Lembur? Jarang. Dinas ke luar kota? Kadang malah lebih dari 365 hari dalam setahun, entah bagaimana logikanya.

Otong sering membatin, "Enak betul jadi ASN. Harusnya mereka itu bersyukur luar biasa. Banyak orang di luar sana yang kerja mati-matian, tapi gaji tak seberapa.

Bahkan banyak pula yang sudah kerja keras, tapi masih stres karena tekanan atasan dan ketidakpastian kerja."

Malam minggu itu, Otong sedang duduk sendirian di mess, menulis catatan pengeluaran harian di buku kecilnya, ketika tiba-tiba Pak Priyatno, atasan sekaligus sahabatnya di kantor, datang sambil tersenyum lebar.

“Tong, ikut gue nonton film, yuk! Butuh hiburan sedikit. Gue yang traktir tiket sama makan malam,” ajak Pak Priyatno dengan gaya khasnya yang santai dan ramah.

Otong mendongak dengan tatapan bingung, “Nonton film? Bioskop?”

“Iya, bro. Masa hidup dihabiskan kerja terus. Sekali-sekali nikmati dunia!”

Otong sebenarnya ragu. Tapi mendengar kata ‘traktir’, pikirannya langsung berbelok. Siapa sih yang menolak gratisan? Orang kaya aja suka makan gratisan kalau ada undangan buffet, apalagi Otong yang pegawai tendahan meskipun statusnya sudah bulanan.

“Ya udah, yuk,” jawabnya sambil tersenyum kecil.

Mereka pun berboncengan dengan sepeda motor menuju pusat kota. Tapi sebelum nonton, mereka mampir dulu ke sebuah warung makan yang cukup ramai. Makan malam mereka sederhana tapi lezat; ikan bakar, sayur asam, dan sambal terasi.

Setelah kenyang, barulah mereka berjalan kaki ke bioskop yang hanya berjarak 500 meter. Namun belum sempat masuk gedung, mata Otong langsung menangkap sosok yang familiar.

Dua wanita yang dulu pernah ia temui saat ngopi santai bersama Pak Priyatno di kantor, kini muncul lagi, tapi kali ini dandanan mereka jauh lebih rapi dan harum semerbak parfum menggoda hidung.

“Eh... itu siapa, Pak?” bisik Otong, agak kaget.

“Kawan nonton kita,” jawab Pak Priyatno ringan sambil tersenyum misterius.

“Hah? Kirain cuma kita berdua?”

“Hidup ini perlu bumbu, Tong. Masak sih sayur asam pedas terus, sekali-kalilah rebus atau goreng. Jangan terlalu serius. Anggap aja teman jalan.”

“Tapi... saya nggak enak sama Bavik ,” jawab Otong agak gugup.

“Tenang, kita nonton bareng, bukan ngapa-ngapain. Lagian, masak kamu nolak gitu aja? Bisa bikin mereka tersinggung. Mereka kan staf kita juga.”

Otong jadi serba salah. Mau menolak, takut dianggap kasar. Mau menerima, hatinya tidak tenang. Ia teringat istrinya yang sedang hamil tua di kampung, menanti waktu melahirkan.

Lihat selengkapnya