Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #92

92-Anak Pertama Lahir

 

Kehidupan di pabrik plywood tempat Sangen berjalan seperti biasanya. Gemuruh suara mesin-mesin seirama dengan tangan-tangan terampil para karyawannya dalam mengerjakan tugas mereka masing-masing.

Dimulai dari proses pemilihan kayu di logpond, yang memang sengaja direndam sebelum dikupas agar kayunya mengandung cukup air, sehingga tidak pecah sewaktu dikupas menjadi veneer.

Kayu dari logpond yang telah dipilih diangkat dengan loader dan diletakkan di atas tempat pengupasan kulit luarnya. Tempat ini masih dikerjakan secara manual, yaitu menggunakan tenaga manusia.

Dari situ diarahkan ke bagian rotary untuk mengupas kayu itu menjadi veneer, yaitu dengan cara diputar menggunakan mesin raksasa, lalu kayunya dikupas dengan pisau raksasa.

Hasil kupasan ini nantinya akan menjadi bahan lapisan-lapisan plywood sesuai ketebalan dan panjangnya. Panjang veneer disesuaikan dengan tujuan bahannya, yaitu menjadi core, face, dan back.

Khusus untuk core, ada yang long core dan ada juga yang short core, yang nantinya menjadi bagian dalam dari sebuah plywood. Sementara face dan back tetap sama panjang karena digunakan untuk bagian permukaan dan belakang plywood yang tampak dari luar.

Sisa dari proses pengupasan log menjadi veneer menyisakan log kecil yang disebut ampulur, biasanya digunakan sebagai tangkai sapu dan gantungan baju dalam lemari. Sementara yang kualitasnya buruk digunakan sebagai bahan bakar boiler, yang uap panasnya dipakai untuk mengeringkan veneer serta sebagai tenaga untuk cold press dan hot press.

Setelah itu, secara berurutan, proses selanjutnya adalah drying, repairing dan setting veneer, assembling, grading, packaging, lalu tujuan akhirnya adalah marketing, yang sebagian untuk ekspor (grade A), dan sebagian untuk kebutuhan dalam negeri (biasanya grade B ke bawah).

Sangen sedang duduk santai di ruang kerjanya di bagian perlengkapan ketika intercom berdering nyaring beberapa kali. Karena saat itu dia duduk paling dekat dengan meja interkom, maka segera diangkatnya.

“Hallo, dengan bagian perlengkapan,” sahut Sangen.

“Hehehe, ini dengan Pak Pri, Boss,” terdengar suara tertawa ringan di seberang sana.

“Hey, Brother. Apa yang bisa dibantu?”

“Ndak ada. Hanya mau menyampaikan saja, ada surat dari isteri Brother. Nanti pulang mampir dulu di ruangan, ya.”

“Oh, ya. Terima kasih, Bro.”

“Ya, sama-sama,” terdengar kawannya itu meletakkan gagang intercom-nya.

“Pak Pri, kah?” tanya Akbar yang duduk tidak jauh dari Sangen.

“Ya,” sahut Sangen. “Katanya ada surat untukku.”

“Ooh.”

Jam pulang sore, Sangen singgah di tempat Pak Priyatno, kawannya itu. Terlihat suasana di kantornya agak berbeda dari biasanya. Kini tinggal dia sendiri di ruangan itu.

“Mana yang lainnya?” tanya Sangen.

“Sudah pulang duluan,” jelas Pak Priyatno. “Duduk dulu lah, Bro!”

“Aku ini nggak lama, mau langsung pulang.”

“Alllaaa, kawan kan cuma sendirian di rumah. Kalau ada isteri, itu baru lain.”

“Tapi...”

“Sudahlah, Bro. Kita ngopi dulu,” kata Pak Priyatno sambil langsung menyediakan kopi sachet untuk mereka berdua.

“Buat sendiri, Bro. Swalayan sekarang.”

Sangen terpaksa mengikuti kemauan kawannya itu. Tak enak juga kalau terlalu ngotot pulang ke mess. Dia pun membuat kopinya dari air panas dispenser di ruangan kawannya.

“Ngomong-ngomong, aku ini mau menikahi mereka itu, Bro,” tiba-tiba Pak Priyatno nyeletuk, saat keduanya sama-sama masih menyeduh kopi.

Lihat selengkapnya