Otong masih ingat ingat isi surat istrinya, dari sang isteri tercinta. Tulisannya tulisan tangan yang halus dan rapi. Panjang pula. Tak tanggung-tanggung, lima halaman penuh seperti makalah kuliah semester akhir.
“Bang, kupikir sudah saatnya kita hidup bersama kembali. Kita ini keluarga muda. Kalau terus-terusan jauh begini, aku takut anak kita jadi tumbuh seperti pohon pinang; tinggi, tapi kesepian.”
Otong tersenyum getir membaca kalimat itu. Ah, isterinya memang selalu tahu cara menyentuh hatinya.
Dulu, saat mereka masih pacaran, cukup satu pesan singkat: “Aku lapar,” dan Otong langsung menempuh 5 km jalan becek demi mengantar gorengan panas. Sekarang? Cuma satu surat, langsung mikir hidup.
Surat itu tak sekadar curhatan istri kesepian. Itu seperti proposal hidup baru. Bahwa jika Otong bisa pindah ke kantor pusat di Pontianak, maka segalanya akan lebih baik: pendidikan anak, keharmonisan rumah tangga, bahkan kesehatan mental mereka.
Apalagi saat ini, katanya, si kecil mulai bisa mengenali suara. “Tapi suaramu hanya dia dengar dari telepon,” tulis isterinya dengan nada yang nyaris membuat Otong menangis.
Dan benar juga, pikir Otong . Hidup di pabrik seperti sekarang itu berat. Fokus hanya produksi dan produksi. Seolah karyawan bukan manusia, tapi robot dengan shift.
Yang lebih menyedihkan: sejak bekerja di pabrik itu, Otong belum pernah sekali pun ikut upacara 17 Agustus.
“Kemerdekaan itu bukan sekadar libur,” gumamnya. “Tapi bentuk penghormatan kepada darah dan air mata para pejuang.”
Sementara di tempat kerjanya, 17 Agustus adalah hari lembur. Upacara digantikan dengan hitung-hitungan insentif dan target produksi. Lebih gila lagi, ada yang bangga tak ikut upacara. Katanya itu tradisi kolonial. Ada pula yang dengan bangga menolak hormat bendera, dengan alasan ideologi pribadi.
“Kalau gitu,” pikir Otong , “ideologi gue: NKRI harga mati!”
Ia masih ingat cerita kakeknya tentang bagaimana satu keluarga habis karena semua anaknya ikut bergerilya. Bahkan ibunya sendiri hampir menjadi janda sebelum sempat menikah, karena calon suaminya dulu nyaris tak pulang dari Kalimantan Timur.
“Lalu sekarang? Anak muda lebih sibuk menatap layar, jadi influencer rebahan yang lupa daratan,” desahnya.
Setelah seminggu merenung, Otong akhirnya memberanikan diri menelepon atasan di kantor pusat Pontianak. Ia menyampaikan niat pindah kerja. Tapi jawabannya seperti batu es dilempar ke wajah:
“Kalau hanya alasan keluarga, enggak cukup. Harus ada alasan strategis. Seperti... kamu dibutuhkan secara profesional.”
Otong menelan ludah. Strategis? Profesional? Dia hanya seorang petugas lapangan biasa. Tapi malam itu, saat sedang duduk sendirian di mess, entah kenapa sebuah ide menyelinap di pikirannya seperti bisikan gaib.
“Bagaimana kalau aku ajukan ide pelatihan untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menurunkan kecelakaan kerja?”