Kehidupan Otong perlahan bersemi kembali. Bukan karena kenaikan pangkat, bukan pula karena rejeki nomplok, melainkan karena hal sederhana yang selama ini begitu ia rindukan: berkumpul kembali dengan istri dan anak tercintanya.
Setelah hampir setahun hidup terpisah, kini mereka telah tinggal serumah di Pontianak. Otong yang sebelumnya bekerja di Ketapang, akhirnya berhasil memindahkan pekerjaannya ke kota ini.
Sedangkan Bavik, istrinya, tetap tinggal di Nanga Pinoh sejak melahirkan anak pertama mereka. Bayangkan saja, jarak dari Ketapang ke Nanga Pinoh mencapai 700 kilometer, dan dari Pontianak masih sekitar 435 kilometer. Sebuah jarak yang tidak bisa dijangkau hanya dengan rindu.
Namun kini semua sudah berbeda. Mereka telah membeli sebuah rumah mungil di sudut kota Pontianak. Rumah itu mereka renovasi seadanya, asal cukup layak untuk ditinggali dan nyaman untuk si kecil yang baru belajar merangkak.
Mereka tidak menuntut kemewahan. Bagi mereka, rumah adalah tempat berkumpul dan membangun kebahagiaan, bukan sekadar bangunan bertembok bata.
Satu hal yang membuat mereka semakin bahagia adalah keharmonisan yang makin terasa. Otong dan Bavik saling mencintai, dan mereka sama-sama mencurahkan kasih yang melimpah untuk anak pertama mereka.
Seorang bayi lelaki yang lucu, cerdas, dan mulai cerewet dengan celoteh khas balita. Namanya, Gregorio OngBa Sanath.
Nama itu bukan sembarang nama. Gregorio, nama baptisan Katoliknya. Angba adalah Otong dan Bavik, sebagai marganya, sedangan Sanath adalah nama seorang pahlawan legendaris dari suku mereka.
Meskipun dalam budaya mereka tidak lazim memberi marga kepada keturunan. Tapi mereka merasa penting untuk memiliki identitas keluarga yang bisa dilacak oleh generasi berikutnya. Marga Ongba adalah lambang cinta dan harapan.
Pagi hari adalah waktu tersibuk bagi Otong. Saat sebagian orang masih memeluk bantal, Otong sudah bangun. Dia memasak air, menanak nasi, dan menyiapkan sarapan.
Setelah itu, dia pergi ke pasar tradisional untuk membeli sayur dan bahan makanan untuk siang dan sore. Pulangnya ia mandi, berdandan rapi, lalu berangkat kerja.
Jika Bavik merasa cukup segar, apalagi jika malam sebelumnya si kecil tidak rewel, ia akan bangun lebih pagi dan sarapan bersama suaminya. Tapi jika malamnya penuh drama tangisan bayi, Bavik akan tetap terlelap, dan Otong pun sarapan sendiri.
Sebelum pergi, ia selalu mengunci pintu dari luar, membawa kunci kecil cadangan, sementara Bavik tetap punya duplikat kunci di rumah.
Otong begitu memperhatikan keselamatan keluarganya. Hal kecil seperti pagar kayu kecil buatan sendiri dipasang di pintu agar anak mereka tidak merayap keluar. Di bagian samping rumah, ia menanam berbagai jenis sayuran seperti bayam, kangkung, cabai, tomat, semua tumbuh subur.
Hanya area jemuran yang ia biarkan kosong, karena ia khawatir rumput lebat bisa menjadi tempat bersembunyi ular. Ia bahkan menyemprot area itu dengan racun rumput secara rutin agar aman.