Perjalanan pulang malam itu menjadi salah satu momen terberat dalam hidup Otong. Dengan menempuh jarak sejauh 435 kilometer dari Pontianak ke Nanga Pinoh, tubuhnya diterpa berbagai penderitaan yang tak diduga.
Sekitar satu jam pertama, ia diserang kawanan agas, serangga kecil yang beterbangan liar dan masuk ke matanya dan terasa sangat perih.
Berkali-kali ia harus berhenti di pinggir jalan, menggosok matanya yang perih, dan mengeluarkan tubuh-tubuh kecil agas yang masuk tanpa permisi ke rongga matanya. Namun, penderitaannya belum berakhir.
Satu jam kemudian, langit menggelap dan hujan deras turun disertai kilat yang saling bersahutan, menyambar-nyambar seakan dunia hendak runtuh. Otong mulai panik. Beberapa kali ia menghentikan motornya dan mencari tempat berteduh karena suara petir yang menggelegar membuat nyalinya ciut.
Petir adalah hal yang paling ia takuti sejak kecil. Meskipun ia menyimpan Orasi Suci di dalam jok motornya, yang katanya bisa melindungi dari sambaran petir, namun sebagai orang beriman biasa-biasa saja, tetap saja rasa was-was menggerogoti dadanya.
Di sepanjang jalan, ia terus berdoa dalam hati, berharap Tuhan menjaganya.
Hanya ada satu set mantel yang ia bawa, dan ia putuskan mantel itu dipakai untuk melindungi barang-barangnya agar tidak basah. Ia rela tubuhnya sendiri, dari ujung kaki hingga leher, basah kuyup disiram hujan malam yang dingin menggigit.
Hanya helm yang melindungi kepalanya dari terpaan langsung. Ia mengendarai motor dalam kondisi menggigil, diterpa hujan dan angin selama lebih 12 jam penuh.
Setibanya di Nanga Pinoh, jari-jemarinya telah mengerut, kulitnya memucat seperti kertas. Sesampainya di rumah, Bavik segera menyambutnya dengan selimut dan secangkir kopi panas.
Ia mengganti pakaian, tubuhnya menghangat perlahan. Hampir saja ia mengalami hipotermia. Setelah itu dia bergabung dengan para keluarga lainnya dalam rasa berkabung atas kepergian ayah mertuanya.
Untung saja usianya masih muda, sehingga tubuhnya masih cukup kuat menahan serangan dingin ekstrem itu. Andaikan usianya sudah di atas empat puluh, mungkin nyawanya bisa melayang malam itu.
Keesokan harinya, pemakaman ayah mertua Otong dilangsungkan di kompleks pemakaman Mawar, Nanga Pinoh. Seluruh saudara dan saudari Bavik, bersama pasangan masing-masing, hadir.
Meski pemakaman itu diperuntukkan bagi semua golongan, masih ada saja pihak yang enggan menguburkan keluarganya di sana, menunjukkan bahwa sekat-sekat sosial belum sepenuhnya hilang.
Malam harinya, diadakan doa bersama di rumah ibu mertua Otong. Acara itu berlanjut pada malam ketiga, ketujuh, dan keempat puluh. Namun, Otong hanya bisa menghadiri doa malam pertama.
Ia harus kembali ke Pontianak karena tuntutan pekerjaan dan sesuai ijin yang diberikan oleh perusahaan.
Ibu mertua Otong memaklumi keadaannya. Ia tak keberatan menantunya tidak bisa hadir di doa-doa selanjutnya. Untuk sementara, Bavik dan anak mereka tinggal lebih lama di Nanga Pinoh menemani ibunya, karena setelah pemakaman, semua saudara Bavik kembali ke rumah tangga masing-masing.