Jangankan kerusuhan besar-besaran yang melibatkan masyarakat lintas wilayah seperti di Kalimantan Barat, yang luasnya mencapai 147.307 km² alias lebih luas dari seluruh Pulau Jawa, kerusuhan lokal yang cuma demo bakar ban bekas di pertigaan pasar saja, sudah cukup bikin ekonomi setempat megap-megap.
Bayangkan, pedagang sayur jadi takut keluar, tukang bakso mendadak pensiun dini, dan ibu-ibu nggak bisa beli cabe karena harga melambung setinggi harapan saat belanja online: “Barang datang sesuai gambar.” Nyatanya? Zonk!
Bisa dibayangkan betapa pusingnya kepala para petugas keamanan. Mereka bukan cuma harus jaga ketertiban, tapi juga menghadapi masalah klasik: jalan rusak, sinyal ponsel yang muncul-tenggelam kayak mantan yang ghosting, dan logistik yang hanya mengandalkan satu jalan utama.
Sekali jalan itu ditutup karena bentrok, ya wassalam—distrik pedalaman otomatis kelaparan. Kiriman barang tersendat, harga-harga naik tiga kali lipat, dan yang paling menyebalkan: sabun mandi jadi langka.
Alhasil, bukan cuma ekonomi yang krisis, bau badan pun ikut merajalela!
Anehnya, di tengah krisis begitu, masih saja ada oknum yang justru menari-nari di atas penderitaan orang lain. Mengambil keuntungan dari situasi kacau, menimbun barang, lalu jual lagi dengan harga seenak dengkul.
Akhirnya, meskipun rakyat punya uang, tetap saja tidak bisa beli apa-apa. Bahkan, kadang uangnya ada, barangnya malah enggak. Mau beli beras, adanya cuma kabar burung.
Dari peristiwa semacam ini kita belajar satu hal: kerusuhan itu seperti flu berat. Menular cepat, bikin lemas, dan semua jadi korban. Jangan pernah coba-coba main api dengan ide mendirikan negara baru atau ganti haluan negara seenaknya.
Karena sekali bentrok pecah, semua orang pasti membela posisinya masing-masing. Aparat keamanan pun nggak mungkin diam saja, mereka pasti turun tangan, dan kalau sudah begitu, jangan harap semuanya akan baik-baik saja.
Kerusuhan membuat semua pihak rugi. Yang bertikai menangis, yang tidak ikut-ikut pun terkena dampaknya. Perekonomian ambyar, ketakutan di mana-mana, dan anak-anak jadi trauma.
Padahal, hidup rukun dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika jauh lebih indah. Toh, kita memang berbeda-beda, tapi tetap satu jua. Saling menghargai bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan sejati.
Akibat kerusuhan antar-etnis yang pernah terjadi di Kalimantan Barat, korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak. Banyak keluarga kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Sedih? Jelas.
Semua pihak berduka.