Sekembalinya dari kampung, Otong kembali ke rutinitas kerja seperti biasa. Kantor tempatnya bekerja kembali buka, suasana mulai tenang walau masih ada polisi dan tentara yang berjaga di beberapa titik.
Pasukan dari luar provinsi sudah ditarik pulang, mereka dianggap cukup untuk menenangkan bara, sisanya diserahkan ke aparat lokal.
Tapi Otong tahu, ini bukan kerusuhan pertama. Dan sayangnya, pelakunya pun masih dua etnis yang sama, yang konon katanya dulu berasal dari rumpun nenek moyang yang berdekatan.
Namun kini, kecurigaan tumbuh subur, dendam mengendap seperti endapan lumpur, dan kalau bisa, mereka mungkin lebih memilih hidup di planet yang berbeda, asal tak harus berpapasan lagi di bumi yang sama
“Astaga, Gusti… sampai kapan ini berulang? Kita ini seharusnya satu saudara, bukan satu musuh bebuyutan,” gumam Otong sambil menyeduh kopi sachet di pantry kantor.
“Kalau bukan karena politik tanah dan fanatisme budaya, nggak mungkin separah itu, Bang,” timpal Antok, rekan sekantor yang punya hobi debat tapi kerja jalan terus.
“Yang lucu tuh, masing-masing ngerasa budayanya paling top. Padahal ujung-ujungnya cuma saling pamer siapa paling keras kepala,” sahut Otong , miris. “Orang semua manusia tuh sama, Tok. Disundut harga dirinya, ya meledak juga. Bahkan anjing rumahan pun bisa gigit kalau ekornya diinjak terus.”
Antok tertawa getir. “Betul, Bang. Tapi untunglah, masih banyak rakyat yang lebih pintar daripada para provokator itu.”
“Ya. Kalau nggak, mungkin kita udah jadi perang sipil skala menengah tiap lima tahun sekali,” tambah Otong sambil menyesap kopi yang sudah dingin.
Isu agama juga pernah coba dikaitkan. Padahal jelas-jelas konflik itu bukan karena agama. Tapi ya, seperti biasa, ada saja yang memanfaatkan momentum.
“Untung yang waras masih banyak, Bang,” ujar Antok lagi. “Kalau nggak, bisa berabe.”
Otong mengangguk. Dalam hati ia tahu, pekerjaan rumah bangsa ini bukan sekadar soal keamanan. Ada budaya yang harus saling disapa, bukan saling dibenturkan. Ada pendidikan yang harus dibangun agar anak-anak dari segala suku bisa belajar bersama, bukan dikotakkan dan dijauhkan.
Dan jika ada sekolah yang terang-terangan tidak menghargai perbedaan atau bahkan menolak nilai-nilai kebangsaan, sudah sepantasnya tidak diberi bantuan pemerintah.
“Mosok sekolah yang nggak suka NKRI, tapi tiap bulan minta dana BOS?” Otong bergumam sambil mencatat sesuatu di kertas usang. “Kayak mantan yang udah nyakitin, tapi minta balikan tiap tanggal tua.”
Di tengah situasi yang mulai kondusif, Otong juga sedang menata ulang hidupnya. Rumahnya di Pontianak ia pasarkan untuk over kredit. Lewat status Facebook, grup WhatsApp, bahkan cerita warung kopi, ia menyebarkan kabar.
Tiga minggu berlalu, beberapa orang mulai tertarik. Tapi mayoritas menawar keterlaluan.
“Bang, saya ambil deh. Tapi DP-nya saya hitung dari awal lagi ya. Pokoknya harga teman lah,” kata seorang pemuda sambil senyum-senyum sok akrab.
Otong menahan napas. Dalam hatinya bergolak antara sabar dan keinginan menjitak.