Di negeri ini, tidak semua orang seberuntung pegawai negeri yang tiap bulan diganjar gaji tetap dan tunjangan yang mengalir seperti mata air abadi. Banyak orang yang setiap pagi membuka mata dengan satu pertanyaan sederhana tapi berat:
"Hari ini bisa makan apa?"
Bagi mereka yang usahanya kecil, hidup adalah perjuangan tanpa akhir. Dapur harus tetap mengepul, anak harus tetap makan, listrik harus tetap nyala, dan sekolah anak tak boleh putus.
Maka, segala daya dikerahkan untuk bertahan hidup, namun tetap menjaga agar tak terjerumus pada jalan-jalan kelam seperti korupsi, kolusi, nepotisme, apalagi tindakan amoral lainnya.
Otong dan istrinya, meski bukan manusia suci, mereka berusaha keras untuk menjadi orang baik. Mereka percaya bahwa meskipun rejeki kadang terasa sempit, hidup dalam berkah lebih menenangkan daripada hidup dari cara-cara haram.
Kini Otong sudah tidak bekerja kantoran lagi. Ia memilih untuk pulang ke kampung, tinggal bersama anak dan istrinya, menumpang sementara di rumah ibu mertua mereka. Bukan karena tak mampu, tapi karena mereka sedang menata hidup baru.
Tabungan masih ada, sisa dari beberapa tahun bekerja dan hasil menjual rumah lama di kota. Namun uang bukan seperti gunung yang tak habis dikeruk. Bila tak dikelola dengan bijak, bisa lenyap seperti kabut pagi.
Maka mereka hidup hemat, memanfaatkan segala potensi yang ada: komputer tua, pekarangan yang terbengkalai, dan kolam ikan yang tak lagi terurus.
Air dari PDAM kota pun mereka putus. Pasalnya, tagihan bulanan selalu lebih besar dari pemakaian riil di meteran. Ketika protes, jawabannya klasik: salah catat. Tapi uang yang kelebihan itu tidak pernah kembali, hanya dicatat untuk bulan berikutnya.
Begitu pula dengan listrik PLN. Pencatatan sering kacau. Maka mereka ganti meteran prabayar, meskipun harus menambah daya.
Di situlah Otong mulai menapaki jalan baru: wirausaha rumahan. Komputer lamanya dia hidupkan kembali, bukan untuk hiburan, tapi untuk mencari nafkah. Ia mulai mencetak dokumen, tugas sekolah, hingga foto dan kartu undangan.
Awalnya, ia bahkan tak tahu apa itu Photoshop. Namun demi bertahan hidup, ia belajar perlahan. Awalnya undangan pernikahan ia desain pakai Microsoft Word, tentu hasilnya seadanya.
Tapi permintaan tetap ada, karena harga jasanya jauh lebih murah daripada percetakan besar di kota.
Suatu hari, Otong duduk santai di teras belakang, sambil memandang lahan kosong yang ditumbuhi rumput liar. Terbersit ide.
“Ma, boleh aku bersihkan pekarangan dan lahan kosong belakang rumah ini?” tanyanya sopan kepada ibu mertuanya.
“Untuk apa, Nak?” tanya sang ibu dengan nada penasaran.
“Aku ingin tanam sayuran, Ma. Biar kita tidak harus beli sayur tiap hari.”
“Ooh, ya sudah. Silakan, Nak.”
“Terima kasih, Ma. Satu lagi, kolam di belakang rumah itu… boleh aku isi ikan lagi?”
“Boleh, itu sudah lama kosong. Mama sendiri sudah tidak sanggup merawatnya.”
“Terima kasih, Ma.”
Sejak hari itu, saat tidak sibuk dengan pekerjaan komputer, Otong mulai menata pekarangan. Ia cabuti rumput liar, cangkul tanah, dan menyemai bibit sayur seperti bayam, kangkung, ubi kayu, labu kuning, hingga jahe dan kunyit.
Bahkan tanaman liar seperti pakis merah dan putih pun ia pelihara, karena mengingatkannya pada masa kecil di kampung.
Ia menanam sedikit-sedikit tapi beragam. Hasilnya, dalam waktu tiga bulan, mereka tak perlu lagi membeli sayur. Kangkung bahkan bisa dipanen dalam tiga minggu. Daun ubi pun mulai bisa dipetik.
Gizi keluarga terjaga, dan dompet pun tak cepat kempes.
Sementara itu, kolam ikan tua juga ia renovasi. Dipagar dari kayu jengger hasil tebang dari hutan kecil di atas bukit. Pinggiran kolam ia kuatkan dengan barau kayu agar tidak longsor.
Bibit ikan nila, patin, jelawat, hingga ikan lokal seperti gabus dan tawes ia lepaskan ke kolam. Lele dumbo yang terkenal kanibal dia pelihara terpisah dalam keramba terpal di darat.