Pagi itu Otong duduk manis di depan komputer, berlagak seperti seorang novelis terkenal yang sedang menggarap bab klimaks. Jari-jarinya menari di atas keyboard—tepatnya metode sebelas jari alias dua jari tunjuk saja yang aktif, sisanya pensiun dini.
Alunan musik instrumentalia dari alat musik tradisional Sape mengalun dari speaker, menambah aura kesunyian yang artistik.
Di pojok ruang tamu, anaknya yang masih balita, yang sudah bisa bicara di usia tujuh bulan dan jalan di usia sembilan bulan, tengah bermain serius dengan kereta mainan.
Bocah kecil itu mengatur gerbong-gerbong plastik layaknya insinyur perkeretaapian nasional.
Tapi suasana santai itu segera bubar jalan seperti buruh dipecat massal. Komputer Otong; ya, komputer yang baru saja diservis dan dikirim pulang dari Pontianak beberapa minggu lalu, mendadak ngambek lagi.
Layarnya gelap, kipasnya bisu, dan tombol power-nya seperti pura-pura tuli.
“Yah, kumat lagi,” keluh Otong sambil menatap layar monitor seolah berharap ia menyala kembali hanya dengan kekuatan tatapan sayu.
Karena kejadian ini sudah kayak langganan bulanan, Otong kembali menghubungi tempat servis komputer langganannya di Pontianak, yang jauhnya sekitar 435 kilometer dari Nanga Pinoh.
Artinya, kalau dihitung secara logis, biaya pengiriman dan risiko rusak di jalan itu jauh lebih besar dari harga satu set keyboard baru.
Tapi demi cinta kepada data dan demi ketenangan hidup rumah tangga, Otong kirim juga komputer itu lewat bus malam jurusan Pontianak–Nanga Pinoh.
Satu minggu kemudian, ponselnya berdering.
“Selamat sore, Bro,” ujar suara dari seberang.
“Pak Budat kah?” tanya Otong, meski sebenarnya dia sudah hafal betul suara itu. Suara khas teknisi yang pernah jadi rocker gagal itu terlalu familiar.
“Betul, Bro. Cuma mau ngabarin, komputer Bro Otong sudah sembuh.”
“Wah, bagus. Apanya yang rusak, Bro?”
“Power supply-nya saja. Sudah saya ganti. Sebenarnya cepat, tapi antrian service kemarin numpuk, jadi agak molor.”
Otong tertawa ringan, “Wah, banjir rejeki itu, Bro!”
“Alhamdulliah. Yah, lumayanlah,” sahut Pak Budat dengan tawa bangga.
“Jadi berapa totalnya, Bro?”
Pak Budat menyebutkan jumlah yang bagi Otong, yang kalau di pikir-poikir memang wajarlah. Apa lagi jika dibandingkan dalam mengerjakan urursannya, masih lebih murah daripada harus beli komputer baru.
“Sipp. Kirim nomor rekeningnya ya. Saya transfer sekarang juga.”
“Mau transfer ke mana? Mandiri, BRI, BNI, atau Bank Kalbar?”
“Aduh, banyak benar rekeningnya Bro. Yang Bank Kalbar saja, Bro.”
“Okay. Sipp.”
Malam itu juga Otong langsung transfer via ATM dan mengirim bukti lewat MMS, karena zaman itu WhatsApp belum eksis. Besok paginya, benar saja, pihak bus menelepon memberitahu bahwa komputer Otong sudah tiba dan bisa diambil di tempat booking Bus Maju Terus.