Pagi itu, udara cerah sekali. Sinar matahari pagi memancarkan cahaya keemasannya yang terang dan menyengat nikmat ketika menyentuh kulit Otong yang hanya mengenakan kaus lengan pendek.
Udara pagi terasa begitu segar, seolah Tuhan sedang menyapa umat-Nya dengan angin lembut dan sinar hangat.
Udara bersih dan gratis, sinar matahari pagi juga gratis, ditambah suasana hati yang tenang dan nyaman, Otong pun menarik napas panjang berkali-kali, seperti ingin menyedot semua anugerah Tuhan ke dalam paru-parunya.
Ia berjalan pelan menuju tempatnya berjualan komputer dan peralatannya. Sesampainya di depan pintu toko, asistennya sudah berdiri menunggu.
"Selamat pagi, Pak," sapa gadis itu ramah.
"Pagi juga," balas Otong sambil tersenyum.
Asistennya adalah seorang gadis lulusan SMA yang tidak melanjutkan kuliah karena masalah biaya. Otong sudah berkali-kali memotivasinya agar tetap berjuang untuk menempuh pendidikan tinggi.
"Kamu harus kuliah. Sekarang, cari cara beasiswa, kerja sambil kuliah, apa saja. Sekolah itu penting."
Gadis itu hanya mengangguk malu-malu. Otong tak ingin dia berakhir seperti sebagian besar anak muda yang menyerah pada keadaan.
"Kamu tahu, banyak orang kaya di luar sana yang tidak kuliah. Tapi cara mereka kaya itu… ya, jadi preman, atau preman berdasi. Bangsa kita bisa maju kalau pendidikannya bagus, bukan cuma karena punya duit."
“Kalau kita hanya mengandalkan duit, tetapi tidak mau sekolah, maka kita akan menjadi tempat sampah. Misalnya, kita mampu membeli HP karena kita punya duit, tetapi membuatnya kita tidak bisa. Begitu juga barang lainnya seperti sepeda motor, mobil, pesawat, dlsb,” ujar Otong.
Ia menatap langit sejenak sebelum melanjutkan, "Kita bisa beli HP, laptop, mobil mahal. Tapi kalau kita tidak bisa bikin, maka kita hanya bangsa konsumen. Kalau terus-terusan begitu, kita jadi bangsa yang bodoh."
Otong suka berbicara panjang lebar soal pentingnya pendidikan. Ia punya kekhawatiran tersendiri. Ia pernah berkata:
"Kalau satu-dua orang bodoh, itu masih bisa ditolong. Tapi kalau satu generasi bodoh berjamaah? Bangsa ini bisa mundur ke zaman batu!"
Ia bahkan pernah ikut diskusi daring yang memperdebatkan bentuk bumi.
"Masih saja ada yang bilang bumi itu datar, ada tembok es di Antartika. Katanya itu konspirasi Amerika dan Israel. Aduh, saya tuh kadang tepuk jidat. Padahal semua itu bisa dipelajari kalau kita mau sekolah, baca buku, dan tonton konten yang benar."
Tempat jualan Otong terletak di depan rumah mertuanya, berseberangan dengan rumah sakit swasta, walau terpisah jarak sekitar sepuluh meter. Di situlah ia buka jasa servis komputer, menjual perlengkapan komputer, dan mencetak foto serta undangan.
Pagi itu, datanglah seorang kawan lama sewaktu SMA. Dia membawa komputer tanpa monitor.
"Wih, siapa nih? Kayaknya pernah masuk koran karena pacaran subuh-subuh!" batin Otong geli.
Kawan itu adalah seorang pria Melayu tinggi besar, dulu pacaran dengan gadis Manado cantik sekelas. Katanya sih lari pagi, tapi ternyata pacaran. Sialnya, seorang guru pramuka asal Indonesia Timur yang naksir si gadis malah cemburu, lalu melapor polisi.
Jadilah mereka digiring subuh-subuh ke kantor polisi. Akhirnya, mereka tak jadi menikah karena beda agama. Si cowok menikah dengan gadis Melayu, si cewek dengan seorang pendeta.
"Ndak mau hidup, Bro. Padahal bunyinya ada. Tapi Windows-nya ndak muncul," ujar kawannya setelah meletakkan CPU di meja.