“Apakah harga tanah itu murah, Bang?” tanya Bavik , memandangi secarik kertas selebaran yang tadi diberikan seorang lelaki tua di depan toko komputer mereka.
“Murah. Bahkan sangat murah,” jawab Otong dengan suara datar, matanya masih menatap layar monitor yang menampilkan spesifikasi komputer pelanggan.
“Abang tertarik membelinya?”
“Iya. Karena kita berdua sama sekali belum punya tanah. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Bavik melipat tangannya di dada, alisnya terangkat. “Coba Abang tawar lagi. Dia kan sedang butuh uang buat berobat. Jadi pasti mau ditawar.”
Otong menghentikan ketikan tangannya. Ia menoleh dengan serius.
“Dek,” ucapnya lembut tapi tegas. “Harga tanah segitu masih masuk akal buat kita. Janganlah kita menekan orang yang sedang kesusahan. Orang itu jelas bilang dia butuh duit buat pengobatan. Masa karena dia terjepit, kita jadi semena-mena?”
Bavik manyun. “Iiih, Abang. Sok baik banget, sih.”
“Bukan sok baik, Sayang,” kilah Otong sambil menahan senyum. “Tapi coba elu bayangin: sakit, nggak punya duit, sendirian pula. Itu penderitaan dobel, Dek. Lahir batin.”
“Tapi itu kan bukan urusan kita, Bang!”
“Memang bukan. Tapi semua yang kita punya ini, bukan semata-mata hasil kerja keras kita. Ini pinjaman dari Tuhan. Jadi kita harus bijak dalam menggunakannya.”
Bavik masih belum puas. “Tapi itu kerja keras kita juga, Bang.”
“Bener, Say,” desis Otong lembut. “Tapi kalau Tuhan nggak kasih kesehatan, rejeki, atau semangat, kita bisa apa?”
Bavik diam sebentar. “Jadi... Abang nggak mau nawar lagi?”
“Janganlah, Sayang. Kasihan dia,” jawab Otong sambil menggeleng pelan.
Bavik mendengus dari hidung. “Huh, kadang-kadang aku pikir Abang tuh lebih cocok jadi Pastor.”
Otong tertawa kecil. “Kalau aku jadi Pastor, aku nggak bisa menikahi kamu yang cantik ini.”
“Huh,” dengus Bavik lagi, tapi kali ini dengan senyum terselip. “Tapi tempat tanah itu jauh dari kota, lho.”
“Iya, untuk sekarang. Tapi sepuluh tahun lagi, tanah itu pasti sudah jadi bagian dari kota. Kota ini berkembang pesat, dan arah perumahan ke situ. Percayalah, harga tanah itu bakal naik gila-gilaan.”
Bavik mengangkat alisnya. “Memangnya, sekarang harga tanah di pusat kota berapa?”
“Di sekitar Tugu Apang Semangai? Sudah 2,5 juta per meter, Say.”
“Waw!” seru Bavik , matanya membelalak. “Mahal banget, Bang!”
“Nah, makanya aku bilang tanah dari Bapak itu murah banget. Nggak tega aku nawarnya lagi.”
Bavik mengangguk pelan. “Ya sudah, beli saja. Tapi jangan salah pilih, ya.”
Otong tersenyum lebar. “Sipp. Kamu istri yang manis.”
“Biasanya katanya cantik,” goda Bavik .
“Cantik juga.”
“Jadi mana yang benar, cantik atau manis?”
“Dua-duanya,” kata Otong sambil mencium pipi istrinya.