Malam itu udara terasa lebih hening dari biasanya, seolah waktu sengaja melambat untuk memberi ruang bagi percakapan hati yang begitu dalam. Di ruang tamu yang sederhana namun hangat, Otong dan Bavik duduk berdampingan.
Lampu gantung kuning temaram menggantung di atas kepala mereka, seperti menjadi saksi bisu dari sebuah keputusan penting dalam hidup mereka.
"Jadi, abang betul-betul ditawari jadi peneliti etnolinguistik itu?" tanya Bavik dengan nada hati-hati.
Otong mengangguk pelan. Wajahnya tak menunjukkan kegembiraan, tetapi lebih ke campuran antara semangat, keraguan, dan... rasa bersalah.
"Iya, Dek. Selama setahun. Ke pedalaman. Untuk meneliti bahasa-bahasa etnik."
Bavik terdiam sejenak. Matanya menatap lantai, tapi jari-jarinya menggenggam tangan Otong erat. Perasaan tak menentu bergelombang di dadanya. Ia tahu ini kesempatan langka bagi suaminya, tapi juga berarti ia akan menjalani hari-hari panjang tanpa pria yang selalu jadi sandarannya.
Sebenarnya Otong lebih nyaman menjadi pengusaha kecil service komputer. Ia menikmati kebebasan, fleksibilitas, dan kebanggaan atas hasil kerja tangannya sendiri.
Namun, ia mulai merasakan tekanan halus dari istrinya yang diam-diam berharap dirinya menjadi peneliti. Otong tidak heran. Istrinya berasal dari keluarga pegawai negeri yang memandang stabilitas dan status sebagai prioritas utama.
Padahal bagi Otong, yang terpenting bukanlah gelar atau instansi tempat bekerja, melainkan uang yang datang; asal halal. Entah itu dari negeri, swasta, atau LSM, selama bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga dan membuat dapur tetap mengepul, baginya sudah cukup.
Ia tidak mengejar jabatan, tapi kedamaian. Tidak mendamba seragam, tapi ketenangan. Namun demi cinta dan harmoni rumah tangga, Otong pun mulai mempertimbangkan pilihan itu.
Mungkin, sekali saja dalam hidupnya, ia ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi lebih dari sekadar tukang servis komputer—jika itu bisa membuat istrinya tersenyum bangga.
"Lu tanya dululah dengan teliti, Bang. Berapa besar yang bisa abang peroleh jika membantu mereka? Ini selama setahun lho, Bang," ujarnya akhirnya, mencoba tetap tenang.
"Ya deh, besok abang telepon lagi, tanya lebih detail," sahut Otong lembut.
Ia tahu, dalam diri Bavik ada perasaan yang tak mungkin diucapkan dengan kata-kata: rindu yang belum datang, kesepian yang akan menyapa. Juga di akan mengurus si kecil mereka, dia akan sendirian.
Keesokan harinya, Otong menelepon Stinggan. Dengan nada bicara yang lugas, Stinggan menjelaskan detail demi detail tentang proyek tersebut: gaji, tunjangan, fasilitas, bahkan kemungkinan dipublikasikan dalam jurnal internasional.