Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #108

108-Mendung Itu Kelabu

 

Karena harus memutar terlebih dahulu melalui negeri jiran Malaysia, Otong agak lama baru bisa berbelok kembali ke arah Kabupaten Sanggau.

Dari Kabupaten Sanggau barulah dia melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Sintang, lalu ke Nanga Pinoh. Untunglah dia membawa paspor, sehingga tidak mengalami kesulitan saat memasuki wilayah negeri jiran itu.

Ketika kembali memasuki wilayah Indonesia, Otong menghela napas lega. Tak ada pemeriksaan yang menyulitkan, petugas pun ramah menyambutnya. Prosedur berjalan normal, tanpa hambatan berarti.

Ia merasa seperti pulang ke pelukan ibu pertiwi, disambut tanah air yang meski sederhana, tetap membuat hatinya tenang dan damai.Enam bulan berada di lapangan membuat tubuh dan pikirannya benar-benar kelelahan.

Ia merasa hampir tak bertenaga. Badannya kusut masai, rambutnya panjang tak beraturan, wajahnya tampak lesu. Pakaian yang dibawanya pun kusut dan berbau keringat, meski telah dicuci dengan deterjen.

“Sudah datang, Bang?” sapa Bavik pelan.

Hatinya gelisah, karena ia merasa dirinya telah ternoda oleh peristiwa yang melibatkan Ho Chi Minh beberapa bulan lalu. Kini, kehamilannya telah memasuki bulan kelima. Perutnya mulai membesar.

“Wah, si kecil tua itu sudah mau punya adik lagi, ya?” sahut Otong sambil memeluk istrinya dan mengelus perutnya.

“Ya, Bang. Si kecil nakal kita itu bakal punya adik,” jawab Bavik pahit.

Ia berharap suaminya tidak menyadarinya. Namun hatinya bergetar, karena ia tahu Otong adalah orang yang cerdas dan peka.

“Kamu kelihatan pucat, Sayang. Harus makan teratur dan cukup istirahat, ya. Jangan terlalu banyak pikiran, biar kandunganmu sehat.”

“Iya, Bang,” desis Bavik lirih.

“Mana yang lainnya?” tanya Otong, sengaja mengalihkan topik karena ia melihat istrinya menyimpan beban berat.

Wajah Bavik tak bercahaya seperti biasanya, seolah habis diterpa badai yang sangat menyakitkan.

“Mama di belakang. Si kecil juga di belakang bersama neneknya.”

“Ooh,” jawab Otong sambil mengangkat barang-barangnya masuk ke rumah.

Tubuhnya lelah dan berdebu, maklum selama riset di pedalaman ia jarang memperhatikan kebersihan diri.

“Ma,” panggilnya sambil menyalami ibu mertuanya dan mencium tangannya. Ia juga menyapa adik iparnya serta anak-anak lain yang tinggal di rumah itu.

“Hei, kebanggaan Bapak,” serunya saat menggendong anaknya yang sedang duduk bermain di lantai dapur.

“Uuh, Bapak bau,” keluh anaknya ketika Otong menciumnya.

Otong tertawa saja mendengar keluhan itu. Ia malah mencium pipi anaknya berkali-kali. “Bapak rindu padamu...”

“Bapak belum mandi ya?” protes anaknya lagi. “Bau banget...”

“Hush, tidak boleh berkata begitu kepada ayahmu!” tegur neneknya. “Kamu harus bersyukur, ayahmu pulang dengan selamat.”

Lihat selengkapnya