Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #109

109-Laporan Penelitian

 

Di sebuah kios kecil bercat biru pudar, yang atapnya tampak seperti biskuit kelapa dimakan rayap, duduklah seorang tukang cukur legendaris.

Bukan legendaris karena teknik potong rambutnya seperti di kota Paris, tapi karena keahlian uniknya: mendengarkan dan menasihati.

Kiosnya boleh sederhana, kursinya mungkin berbunyi ‘kriet-kriet’ tiap diduduki, tapi pelanggan yang duduk di sana sering pulang bukan hanya dengan rambut rapi, melainkan juga hati yang terasa lebih ringan.

Tukang cukur itu dikenal sebagai psikolog gratis. Ia bisa mendeteksi patah hati dari potongan poni, membaca krisis rumah tangga dari gaya rambut cepak, bahkan menebak tanggal gajian hanya dari ekspresi pelanggan.

Ia bukan hanya pemangkas rambut, tapi motivator dadakan dan ahli tafsir cinta di balik gondrongnya helai-helai masa muda.

“Mas, rambutmu keliatannya baru putus, ya?” katanya suatu hari sambil menyemprotkan air dari botol plastik bekas sabun.

Nasihatnya kadang ngawur, tapi selalu menghibur. Orang-orang datang bukan hanya untuk cukur, tapi untuk curhat. Di balik silet dan sisirnya, ia menyisir juga kegundahan hidup orang-orang yang mampir.

Kios kecil itu pun jadi semacam tempat terapi rakyat tanpa biaya, tanpa antrean panjang. Hari itu, pelanggan istimewanya datang. Otong, seorang peneliti muda yang baru saja kembali dari daerah pedalaman Kalimantan, duduk di kursi khusus itu.

Kursi yang sudah tak bisa direbahkan lagi karena tuasnya patah. Tapi tetap menjadi tahta paling sakral bagi para lelaki yang ingin terlihat lebih rapi meski hanya untuk selfie dengan fitur filternya.

Mendengar penjelasan Otong yang menolak memakai pisau cukur karena khawatir ada darah dari penderita AIDS yang mungkin tertinggal di sana, tukang cukur itu hanya mengangguk paham.

Tanpa banyak bertanya lagi, ia pun bergegas keluar dan pergi ke toko sebelah untuk membeli sebilah silet baru.

Sebagai bentuk tanggung jawab sekaligus penghargaan atas kehati-hatian Otong, ia memilih untuk memastikan semuanya benar-benar bersih dan aman.

Tukang cukur itu memandangi Otong dengan tatapan penuh penghargaan. Di zaman sekarang, begitu langkanya lelaki yang memilih menjaga diri dan tidak tergoda untuk “jajan” di luar.

Bagi si tukang cukur, sikap Otong bukan hanya soal kehati-hatian, tapi juga mencerminkan karakter yang langka: setia, bersih, dan tahu batas.

Karena itu, ia merasa perlu melayani Otong sebaik mungkin, bukan semata karena kewajiban, tapi sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang yang masih menjunjung nilai yang mulai dilupakan banyak orang.

Silet merek terkenal pun dibeli, lengkap dengan alat cukurnya.

"Jadi, kamu nggak pernah ke lokalisasi?" tanyanya, setengah serius, setengah menguji.

Otong  tersenyum sopan. "Nggak pernah, Pak."

"Luar biasa, kamu, Nak. Saya aja... ya, kadang-kadang... masih suka ke sana. Apalagi kalau ceweknya cantik dan masih anget-anget gitu. Rasanya tuh... pengin langsung... tancap gas!"

Otong  menahan tawa. Pria itu, meski sudah ubanan, tampak seperti pensiunan tentara yang belum pensiun dari pertempuran cinta. Badannya tegap, kulitnya legam karena matahari, dan matanya masih tajam seperti silet yang baru dibelinya.

"Kamu udah punya istri?"

"Sudah."

"Sebelum nikah pernah punya pacar?"

Lihat selengkapnya