Semua yang hadir mendadak terdiam ketika Jambang berbicara. Ucapannya bukan hanya benar secara substansi, tetapi juga disampaikan dengan gaya yang lugas, tegas, dan sangat meyakinkan.
Nada suaranya begitu khas dan berwibawa, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya memiliki bobot yang tak terbantahkan.
"Meskipun pada saat pembekalan sebelumnya tidak semua hal sempat kita sampaikan secara rinci, saya rasa ini bukan alasan," lanjut Jambang.
"Semua peserta di sini adalah sarjana, sehingga mereka seharusnya memiliki kapasitas untuk berkreasi dan melakukan improvisasi. Apalagi, mereka telah dibekali dengan dana yang mencukupi dan memiliki intelektualitas yang tidak diragukan."
Stinggan menyunggingkan senyum kecil, seakan menikmati paparan kawannya itu. "Bagaimana, Stinggan? Setuju?" Jambang tiba-tiba melempar pertanyaan padanya.
"Absolutely agreed," jawab Stinggan sambil tetap mengunyah sirih. Suaranya terdengar bergema, seperti berasal dari dalam gua.
"Ada tambahan?"
"No. Just go ahead," ujarnya sambil menyeka bibir dengan tisu karena cipratan air sirih saat ia bicara.
"Baik," ujar Jambang. "Saya menyarankan kepada Liber dan Lohan untuk merevisi laporan kalian. Kalian boleh menggunakan laporan milik Otong sebagai acuan. Laporannya sangat lengkap dan teliti. Saya kira demikian. Selanjutnya saya kembalikan kepada moderator."
Jambang mematikan mikrofon di mejanya, menandakan penutupan sesi.
Dalam kurun waktu seminggu berikutnya, Liber dan Lohan tampak sibuk tenggelam dalam usaha merevisi laporan mereka. Otong memperhatikan bahwa apa yang mereka kerjakan tampak seperti usaha mati-matian untuk mengingat kembali hal-hal yang tak sempat mereka catat saat penelitian. Upaya tersebut terlihat kacau, banyak yang meleset dari akurasi.
Jumlah sub-suku yang mereka teliti sebenarnya setara dengan yang diteliti Otong , namun perbedaan besar terletak pada pendekatan penamaan suku. Otong hampir selalu mengacu pada cerita asal-usul dan pengakuan internal suku bersangkutan.
Hanya sebagian kecil yang menggunakan referensi lain. Baginya, nama dan asal-usul adalah kebanggaan utama setiap suku. Tak boleh semata-mata ditentukan berdasarkan pandangan peneliti atau nama yang disematkan oleh orang luar.
Sebaliknya, laporan Liber dan Lohan lebih banyak menggunakan nama yang diambil dari nama sungai, tempat, atau kata dalam bahasa suku tersebut menurut persepsi pihak luar, terutama kata yang bermakna 'tidak ada'. Hal ini tentu saja menimbulkan kontroversi.
Perdebatan memuncak dalam seminar lanjutan yang menghadirkan seorang berkebangsaan Amerika, Prof. Dr. James T. Collins, seorang guru besar linguistik dari Universiti Kebangsaan Malaysia yang sebelumnya menjadi narasumber pelatihan pra-penelitian.
Jambang dan Stinggan mengecam tajam pendekatan penamaan dengan makna 'tidak ada'. Bagi mereka, ini bukan sekadar istilah linguistik, tetapi mengandung potensi bahaya politis.
Jika sebuah sub-suku secara resmi disebut dengan istilah yang berarti 'tidak ada', bisa saja keberadaan mereka dianggap tidak sah. Akibatnya, hutan tempat mereka tinggal dan kekayaan alam di sekitarnya bisa diambil alih begitu saja oleh pihak luar.