Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #112

112-Jadi Pengurus LSM

 

Usaha servis komputer dan penjualan perlengkapan teknologi yang dirintis oleh Otong bersama istrinya, Bavik, akhirnya resmi ditutup. Keputusan itu diambil bukan karena bisnisnya bangkrut, melainkan karena kondisi yang sudah tak lagi memungkinkan untuk diteruskan.

Selama beberapa bulan terakhir, aktivitas usaha mereka lebih banyak bertumpu pada penjualan alat tulis kantor dan perangkat keras komputer. Layanan servis sendiri nyaris berhenti total, sebab Bavik sebagai pengelola toko tak memiliki kemampuan teknis untuk memperbaiki komputer yang rusak.

Ironisnya, Bavik sebenarnya pernah mengikuti kursus komputer. Justru sang suami, Otong, sama sekali tak pernah menyentuh dunia pendidikan formal dalam bidang teknologi, apalagi menempuh kuliah.

Hal ini kerap menjadi bahan candaan mereka, terutama saat menghadiri undangan pernikahan atau acara formal lainnya, di mana nama Otong seringkali ditulis dengan gelar “S.Kom.”

Mereka yang tidak tahu latar belakangnya, tentu mengira bahwa Otong adalah seorang sarjana komputer.

Meskipun tokonya ditutup, banyak pelanggan masih tetap datang untuk membeli barang komputer. Mereka tahu bahwa di balik pintu toko yang tampak tertutup itu, masih tersedia berbagai kebutuhan komputer dan alat tulis.

Bavik tetap melayani pembelian dengan harga yang sangat bersaing, hanya mengambil keuntungan lima persen saja. “Yang penting uangnya berputar dan modal kembali,” ujar Otong suatu hari, menggambarkan prinsip dagangnya.

Keputusan besar datang ketika Otong memutuskan untuk bergabung ke dalam lembaga non-profit atau LSM bernama Ghosting, yang dipelopori oleh dua tokoh visioner, Stinggan dan Jambang.

Langkah ini tidaklah mudah. Bavik menolak ikut pindah ke Pontianak karena menganggap kota tersebut rawan konflik. Ia menilai hubungan antar-etnis di sana seperti bom waktu, mudah meledak jika dipicu isu-isu sensitif seperti agama atau ras.

Akhirnya, dengan berat hati, mereka sepakat untuk tinggal terpisah: Bavik  bersama anak-anak tetap di Nanga Pinoh, sementara Otong bekerja di Pontianak.

Alasan lain yang memperkuat keputusan itu adalah keberadaan ibu mertua Otong di Nanga Pinoh yang sudah lanjut usia dan tinggal sendiri. Anak-anaknya yang lain sudah menikah atau kuliah di luar kota.

Kehadiran Bavik  dan dua cucunya menjadi penghiburan tersendiri bagi sang nenek. Meskipun demikian, Otong kerap merasa khawatir karena ibu mertuanya cenderung memanjakan cucu-cucunya secara berlebihan.

Otong takut anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang keras kepala karena terlalu dibiasakan dituruti keinginannya.

Di Pontianak, Otong tinggal di bagian belakang kantor Ghosting yang memang menyediakan kamar-kamar sederhana bagi para aktivis yang tidak memiliki tempat tinggal tetap.

Malam-malamnya ia habiskan untuk menulis, kebiasaan lama yang kini kembali hidup. Ia menulis di blog, Facebook, dan beberapa media online. Bahkan ia mulai menyusun kembali draft novel-novelnya yang lama terpendam.

Namun setelah beberapa bulan di lembaga tersebut, perlahan-lahan Otong menyadari adanya masalah internal yang cukup serius. Ia melihat perilaku sebagian aktivis yang, menurutnya, jauh dari nilai-nilai moral dan etika, bahkan cenderung menyalahi norma ketimuran.

Lihat selengkapnya