Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #115

115-Asrama UKM Kajang

 

Berkat koneksi baik Pak James dengan pihak Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), maka Otong dan Liber mendapatkan kesempatan langka: tinggal di asrama mahasiswa milik UKM yang terletak di Kajang.

Letaknya hanya sekitar sembilan kilometer dari kampus utama UKM, dan dapat dijangkau dalam waktu setengah jam saja jika naik bus umum—yang di Malaysia disebut “bas”.

Kamar mereka terletak di lantai dua sebuah gedung asrama berlantai tiga. Ukurannya cukup luas, sekitar 4 x 8 meter, belum termasuk ruang masak, tempat mencuci piring, tempat menjemur pakaian serta WC pribadi.

Tiap kamar dirancang untuk dua orang, dengan dua tempat tidur yang sudah dilengkapi spring bed yang representatif. Fasilitasnya tergolong lengkap; ada kamar mandi dalam, dapur kecil, bahkan area menjemur pakaian di bagian luar. Semuanya terawat rapi dan bersih.

Otong sempat tak percaya ketika mengetahui tarif sewanya. Jika dibandingkan dengan fasilitas yang didapat, harga sewanya tergolong sangat murah. Bahkan pembayarannya dilakukan sekaligus untuk satu tahun penuh, sesuai aturan yang berlaku di sana.

Menurut perkiraan Otong, kompleks asrama itu memiliki tidak kurang dari 300 kamar. Selain terdiri dari tiga tingkat, halaman parkirnya pun sangat luas, membentang di bagian depan dan samping bangunan.

Di lantai dua, terdapat sebuah aula multifungsi yang biasa digunakan untuk rapat atau berbagai kegiatan penghuni asrama.

Yang membuat Otong terkagum-kagum adalah konstruksi bangunannya. Dinding asrama itu sangat tebal, terdiri dari dua lapis batako padat yang solid.

Salah satu penghuni asrama pernah tak sengaja memukul tembok saat bertukang, dan tembok itu tetap kukuh seolah tak terjadi apa-apa. “Ini bukan seperti tembok rumah kita di kampung,” pikir Otong.

“Di sini temboknya tahan palu, di kampung ditempelin nyamuk saja sudah retak.”

Ia teringat banyak bangunan di Indonesia yang mengutamakan efisiensi berlebihan, hingga satu sak semen bisa dipakai untuk mencetak hingga 300 batako. Akibatnya? Rapuh. Menguntungkan pembuatnya, tapi merugikan penghuninya.

Meski kuat dan kokoh, ada satu hal yang agak mengganggu: dindingnya menyimpan panas. Saking tebal dan padatnya, tembok itu memancarkan hawa panas sampai tengah malam, membuat mereka kerap susah tidur. Tapi, toh, mereka tetap bersyukur bisa tinggal di tempat senyaman itu.

Selama satu semester menjalani kuliah di negeri jiran, banyak hal yang menjadi catatan tersendiri bagi Otong. Misalnya, soal sopir bus. Sebagian besar sopir di sana berasal dari keturunan India, mereka biasa dipanggil “Tambi”.

Tubuh mereka besar dan tinggi, tapi kulitnya agak gelap. Gaya mengemudinya pun khas: agak sembrono, tak jarang membuat penumpang terhuyung-huyung.

Suatu hari, seorang penumpang perempuan bercadar jatuh terhuyung akibat rem mendadak. Wajahnya menghantam lantai dengan keras. Otong terperangah, membayangkan bibir wanita itu pasti berdarah.

Tapi yang lebih membuatnya terkejut, tak satu pun penumpang beranjak menolong. Semua diam membisu, seperti menonton adegan film. Ia sendiri sebenarnya ingin membantu, tapi karena bukan muhrim, ia hanya bisa menatap prihatin.

Batin Otong berkecamuk. “Kalau ini terjadi di kampungku, pasti semua sudah berebut menolong.”

Pengalaman lain yang menarik bagi Otong adalah urusan listrik. Di Malaysia, rata-rata alat elektronik memiliki daya besar. Setrika, pemanas air, bahkan teko listrik—semuanya di atas 1500 watt, bahkan bisa mencapai 2500 watt.

Lihat selengkapnya