Memang benar dugaan Liber: area proyek pembangunan di dekat asrama mereka benar-benar tidak dipagari.
Akibatnya, bahan bangunan berserakan begitu saja dari semen, besi, kayu hingga alat-alat tukang, semuanya terbuka tanpa penjagaan. Otong menatap pemandangan itu sambil geleng-geleng kepala.
“Mungkin di sini memang tidak ada pencuri,” tukasnya.
“Kalau di Indonesia, jangan haraplah aman,” lanjutnya sambil terkekeh. “Sudah dipagari seng tinggi pun masih dipanjat orang. Semennya, kayunya, bahkan palunya bisa hilang.”
Liber mengangkat alis. “Mustahil di sini tidak ada pencuri. Di mana-mana pasti ada pencuri, kawan.”
Otong hanya nyengir. “Ndak kah kau dengar, katanya para pencuri di sini rata-rata ya… orang-orang kita juga,” ucapnya lirih, sedikit getir.
Di Malaysia, kata “Indon” sering dipakai dengan nada merendahkan. Otong pernah mendengar obrolan warung bahwa jika laki-laki dari Indonesia datang ke Malaysia, kemungkinan besar dia adalah buruh kasar, pencuri, atau bahkan perampok.
Sedangkan perempuan, kalau tidak jadi pembantu rumah tangga, ya jadi pekerja malam atau PSK.
Otong tidak terima sepenuhnya anggapan itu. “Kami ini contohnya,” pikirnya. “Kami ke sini bukan untuk mencuri atau jadi TKW, tapi kuliah S2, mengejar gelar Master Linguistik.”
Ia sadar, cap buruk itu lahir dari segelintir oknum, tapi membawa dampak bagi seluruh bangsa.
Pada malam minggu, keduanya mengunjungi sebuah expo tahunan. Di Malaysia, pabrik disebut kilang, tidak seperti di Indonesia yang menyebutnya “pabrik”. Di expo ini, berbagai kilang memamerkan produk-produk terbaru mereka; mulai dari elektronik, alat rumah tangga, hingga teknologi otomasi.
Otong tampak antusias. Ia membeli satu per satu komponen komputer: motherboard, VGA card, prosesor, HDD, PSU, casing, keyboard, mouse, speaker, monitor, hingga printer.
Liber mengernyit.
“Untuk apa kamu beli semua itu?” tanyanya dengan ekspresi heran.
“Mau ku rakit komputer sendiri untuk kita belajar di asrama,” jawab Otong santai.
“Masya? Kamu bisa?” tanya Liber setengah tertawa. “Ndak salah? Beli jadi aja lah, kawan. Takut sayang kalau rusak.”
Otong hanya tersenyum. “Kalau beli jadi, mahal. Merakit sendiri lebih murah. Lagian ini bukan hal sulit, asal tahu dasar-dasarnya.”
Tatapan Liber jelas menunjukkan rasa tidak percaya. Tapi Otong tetap melanjutkan misinya. Esoknya, saat libur, ia mulai merakit. Satu per satu komponen ia pasang dengan telaten.
Liber yang menonton dari tempat tidur, mula-mula hanya mengamati dengan setengah hati. Namun setelah casing tertutup rapi dan tombol power ditekan, komputer itu menyala.
Otong segera menginstal Windows, Microsoft Office, dan beberapa aplikasi tambahan.