Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #118

118-Mertua Minta Tolong

 

Antara terdengar dan tidak, bunyi ketukan di pintu depan mengusik ketenangan siang itu. Bavik yang sedang melipat pakaian di ruang tengah, menoleh sejenak.

Ia ragu, tapi kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tapi karena ia tidak terbiasa ada tamu di siang hari yang lengang seperti ini.

Dengan pelan, Bavik memutar gagang pintu. Suara engsel berderit sedikit, seolah ikut menambah ketegangan. Di ambang pintu berdiri seorang lelaki yang wajahnya tak asing.

Tapi butuh beberapa detik bagi Bavik untuk benar-benar mengenalinya.

“Siapa ya?” tanya Bavik sambil memicingkan mata, mencoba menebak-nebak.

“Saya Manggis, Kak,” jawab tamu itu sambil tersenyum canggung.

“Ooh...” gumam Bavik, sambil mengingat-ingat. “Yang sering ditumpangi Bapak mertua, kan?”

“Ya, Kak,” jawab Manggis dengan anggukan mantap.

“Silakan masuk, Bang Manggis,” ujar Bavik sambil membuka pintu lebih lebar.

Manggis melangkah masuk, tubuhnya yang agak tambun terlihat sedikit kikuk saat duduk di kursi ruang tamu. Meskipun sudah sukses, dia masih membawa kerendahan hati yang kental.

Manggis bukan orang sembarangan. Dahulu, ia hanya seorang penjual keliling bermodalkan Rp500 ribu dan semangat baja. Hari ini, ia adalah seorang pengusaha lokal dengan omset puluhan miliar rupiah.

Perjalanannya panjang dan berliku. Bermula dari menyadap karet di lahan warisan ayahnya, hingga membangun toko kelontong yang berkembang menjadi gudang raksasa sembako dan barang-barang konsumsi.

Tak hanya hemat, ia juga disiplin dan jujur, hingga banyak pemodal tertarik padanya. Salah satunya bahkan seorang cukong besar dari Kalimantan Timur yang menggandengnya dalam bisnis perkayuan.

Kini, kekayaannya tak terhitung lagi: tanah, kapal, mobil, hingga tabungan di bank. Tapi di balik semua itu, Manggis tetaplah Manggis yang dulu, merunduk walau sudah tinggi.

Kepada Bavik, Manggis menjelaskan maksud kedatangannya.

“Paman minta tolong mengirimkan uang ini kepada anak-anaknya yang di Pontianak,” katanya pelan sambil menyerahkan beberapa lembar uang yang sudah dibungkus rapi.

Bavik menerimanya tanpa banyak tanya. “Ooh, baiklah.”

Namun dalam hati, muncul pertanyaan yang lebih besar. “Mana Ayah?” tanyanya pelan, nyaris seperti gumaman.

Sejak menikah, ayah mertuanya tidak pernah sekalipun muncul. Tidak saat mereka masih tinggal di Ketapang, tidak saat mereka pindah ke Pontianak, bahkan sekarang saat mereka tinggal di Nanga Pinoh pun tidak.

Otong, suaminya, selalu bilang, “Biarlah, mungkin beliau masih marah.”

Dan marah itulah yang menjadi jurang panjang yang belum pernah bisa diseberangi.

“Ada,” jawab Manggis singkat. Suaranya datar, tapi nada gugupnya tercium jelas.

Bavik tak menyadari gelagat itu. Dia hanya mengangguk. “Sehatkah beliau?”

Lihat selengkapnya