Otong memperhatikan anaknya itu, kondisinya kurus kering dan nafsu makannya sangat kurang. Untuk bertahan hidup dia hanya minum susu saja, itupun tidak terlalu bernafsu seperti anak anak lainnya.
Tubuhnya terasa panas meskipun selalu diberi obat penurun panas.
Bavik menceritakan anaknya sudah beberapa kali di bawa berobat, tetapi para dokter yang pernah menanganinya sampai saat ini tidak tahu apa penyakitnya.
“Sudah beberapa kali di bawa berobat?’ tanya Otong penasaran.
“Gue tidak ingat pasti, Bang. Tapi mungkin sudah belasan kali,” jelas Bavik .
“Apakah ke tempat dokter yang sama, Sayang?”
“Ndak, Bang. Kami hanya beberapa kali konsul pada dokter yang sama. Setelah itu pindah lagi, tetapi masing-masing mereka tetap tidak tahu apa penyakit anak kita.”
Otong menarik nafas panjang. Aneh, pikirnya. Semua dokter yang mereka kunjungi kok tidak tahu penyakit anaknya? Apa mungkin karena kebanyakan dokter sekarang itu sewaktu masuk kedokteran karena main uang, sogokan dan koneksi?
Sebab orang miskin jarang mampu untuk menjadi dokter, meskipun otaknya cerdas. Ada sih beberapa orang miskin yang jadi dokter, tetapi prosentasenya sangat sedikit jika dibandingkan orang kaya.
Sementara orang kaya bisa saja melakukan hal itu, bahkan mereka bisa membayar guru-gurunya agar menaikkan nilai mereka, sehingga dari segi nilai mereka sudah memenuhi syarat, nanti proses selanjutnya sudah gampang karena sudah punya kemampuan untuk melaksanakannya.
Hanya parahnya ketika sudah menjadi dokter, mereka terlalu sedikit menggunakan logikanya, malahan banyak juga para dokter uang itu yang tidak meng upgrade ilmunya.
Padahal ilmu yang dia dapatkan di kampus itu belumlah seberapa apa lagi kalau dia malas belajar, itu seharusnya dia tambahkan dengan pengalaman di lapangan dan selalu meng upgrade ilmunya sepanjang hidupnya.
Malam itu seorang Pastor bertamu ke rumah mereka, pastor Lukas namanya. Sementara anak mereka ini meskipun sebenarnya dalam keadaan sakit, tetapi dia masih bermain-main di dekat mereka.
Pastor ini awalnya memang bertugas di daerah asal mereka di pedalaman, tetapi beberapa bulan lalu sudah pindah kerja ke daerah kota.
Tetapi dia akrab dengan keluarga ini, karena ibu mertua dan anak-anaknya rata-rata aktif di kegiatan gereja dan para ipar Otong termasuk isterinya dulu juga sering menjadi putera altar dan anggota koor.
Sehingga setiap kali dia turun ke kota, maka Pastor itu selalu menyempatkan diri bermain ke rumah mereka.
Malam itu mereka bercengkerama dengan pastor Lukas di ruang tamu, di sana ada Otong bersama Bavik dan anaknya, ada ibu mertua juga beserta adik-adik ipar dan anak-anak yang kos yang tinggal dengan mereka.
“Kok anak ini sepertinya terlalu kurus dan mukanya pucat, ya?” celetuk pastor Lukas ketika dia memperhatikan anak mereka yang sedang bermain itu.
“Dia sedang sakit, Tor,” jelas Bavik .
“Sakit apa?”
“Ndak tahu juga.”
“Kok ndak tahu?”
“Soalnya sudah di bawa berobat ke beberapa dokter, tetapi mereka tidak bisa mendiagnosa penyakitnya apa, Tor.”
“Oooh,” gumam pastor Lukas. Dia lalu memperhatikan anak Otong dan Bavik lebih seksama lagi.
“Dia pucat, kurus dan sepertinya tubuhnya sangat lemah. Tetapi kok masih bermain main juga?”
“Dia memang tidak bisa diam Tor,” jelas ibu mertua Otong. “Meskipun sakit dia aktif terus. Nanti berhenti jika sudah terkapar.”