Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #128

128-Pelukan Di Gunung Lawu

 

Sesampainya mereka di kaki Gunung Lawu, hawa sejuk langsung menyambut. Angin gunung berembus pelan, menyapu rambut dan menyisakan aroma kayu dan tanah basah yang begitu khas.

Langit biru bersih, dan kabut tipis menyelinap di antara pohon-pohon yang berdiri gagah. Di kejauhan, tampak rumah kayu sederhana milik keluarga Pak Lorens, yang telah berdiri di sana sejak puluhan tahun lalu.

Rumah itu tampak seperti bagian dari alam; akarnya menancap ke bumi, daunnya menjulur ke langit.

Keluarga Pak Lorens sudah menunggu di beranda, menyambut dengan senyum lebar dan tangan terbuka. Ada pelukan hangat, ciuman di pipi kanan-kiri, dan suara riuh penuh kegembiraan.

Saling sapa, saling peluk, saling genggam tangan erat seolah ingin berkata, "Kami satu keluarga, meski belum lama saling kenal."

Otong, Bavik, dan putra kecil mereka berdiri sedikit kaku di tengah keramahan itu. Bukan karena tidak nyaman, tetapi karena begitu terharu. Kelembutan, kehangatan dan saling kasih yang mereka terima bukan basa-basi.

Itu cinta yang murni, yang terpancar dari mata dan cara bicara anggota keluarga Pak Lorens satu sama lain. Saling menghormati, saling mendengarkan, dan tidak ada kata-kata kasar yang terlontar meski hanya bergurau.

Malam pun tiba. Udara semakin dingin, tetapi obrolan di ruang tengah rumah Pak Lorens justru semakin hangat. Tawa terdengar bersahutan. Teh tawar disuguhkan, lalu ubi rebus, pisang goreng, hingga singkong bakar yang aromanya menggoda.

Mereka bercengkerama hingga larut, membicarakan segala hal dari masa kecil hingga pengalaman unik masing-masing.

Yang menarik, hampir semua anggota keluarga Pak Lorens begitu penasaran dengan Otong dan keluarganya.

“Kami belum pernah melihat langsung orang Kalimantan,” kata salah satu sepupu Lorens dengan polos. “Rupanya orang Kalimantan itu putih-putih ya?” tambahnya sambil melirik Otong, Bavik dan putera kecil mereka.

Otong hanya bisa tertawa kecil, sementara Bavik sesekali menunduk malu. Beberapa kali ia merasa risih ketika disorot mata-mata penuh rasa ingin tahu, terutama para wanita muda yang terpukau melihat kulitnya yang putih, wajahnya yang cantik alami, dan rambut hitam panjangnya yang terurai hingga sepinggang.

Tapi karena tahu itu bukan karena niat jahat, ia memilih untuk santai. Lagipula, bukankah di mana-mana manusia selalu penasaran terhadap hal yang asing bagi mereka?

Keesokan harinya, mentari mulai merangkak naik, menyinari lereng gunung Lawu dengan sinar keemasan. Embun masih menggantung di ujung dedaunan ketika keluarga kecil itu bersiap mandi di sungai yang berada di lembah di atas gunung.

Mereka hanya berjalan kaki menuruni lereng bukit, melewati jalan setapak beralaskan tanah dan bebatuan. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar lima ratus meter dari rumah Pak Lorens.

Sepanjang perjalanan, Bavik terus memperhatikan sekitar. Kebun sayur, ladang jagung, dan deretan rumah kayu berjejer rapi. Anak-anak kecil berlarian, beberapa membawa layang-layang, dan ibu-ibu tampak sibuk menjemur pakaian atau mengupas singkong di beranda.

Lihat selengkapnya