Setelah terlebih dahulu melakukan doa makan bersama, maka rombongan itu pun makan secara prasmanan di atas lantai. Otong dan istrinya pun akhirnya berusaha juga untuk tidak makan terlalu kenyang, karena sudah diingatkan akan ada makanan kedua nantinya.
Padahal sayur dan lauk pauk yang dihidangkan itu sungguh menggugah selera pada saat perut kepalaran seperti ini.
“Nah, sekarang makanan kedua,” kata tuan rumah sambil mulai menghidangkan makanan kedua yang dia maksudkan itu ketika mereka semuanya sudah selesai makan.
Rombongan yang datang itu pun semua pada sabar menunggu tuan rumah menghidangkan makanan kedua itu.
Otong tidak bisa melihat jelas apa itu makanannya, karena dihidangkan dalam tempat yang terbuat dari sejenis anyaman dan masih tertutup daun pisang, tetapi menebak dari aromanya maka Otong menebak bahwa itu adalah singkong rebus dan minuman teh yang yang mereka produksi sendiri.
Selain makanan kedua itu, juga dihidangkan beberapa tumpuk piring kosong yang bisa diambil masing-masing.
“Silakan dinikmati!” kata tuan rumah ketika beberapa bahan dari anyaman itu sudah dihidangkan di depan semua dan masing-masing kelompok telah menerima tempat minuman daun teh.
Pak Lorens dan isterinya segera mengambil piring dan membuka tempat dari anyaman itu dan mengambil isinya.
Ketika isi makanan dari tempat anyaman itu dikeluarkan, maka benarlah tebakan Otong dalam hatinya tadi karena itu adalah singkong rebus. Tetapi beda daerah memang berbeda budaya.
Dalam hati Otong agak merasa kecewa, karena di tempatnya singkong rebus itu adalah makanan yang terpaksa di makan pada saat mereka sedang mengalami kekurangan makan nasi saja. Sedangkan di sini sangat dihormati.
Tetapi beda daerah ya beda budaya, pastilah di sini singkong itu dianggap sebagai makanan pokok juga. Padahal Otong tidak tahu, meskipun kandungan vitaminnya kurang jika dibanding dengan nasi, tetapi kandungan karbohidrat singkong itu jauh lebih tinggi sehingga memberikan tenaga ekstra bagi yang mengkonsumsinya.
Semua orang sudah menikmati singkong rebus itu dengan teh yang terbuat dari daun teh yang mereka produksi sendiri, karena masih terlihat daun tehnya yang besar-besar di dalam cangkir besar itu. Mereka mengambilnya dengan perlahan-lahan jangan sampai daun tehnya ikut tertuang.
Ketika merasakan air teh itu, Otong hampir saja tertawa, karena teh itu benar-benar tawar tanpa gula sedikit pun. Padahal di daerahnya jika minum teh itu pastilah dicampur dengan gula bahkan ada yang menyukai rasa yang sangat manis.
Sehingga
Meskipun Otong terbiasa minum kopi pahit tanpa gula tetapi khusus untuk teh tetap juga diberi gula meskipun hanya sedikit. Tetapi sebenarnya memang minum the itu tanpa gguila dan itu baiuk, sehingga rasanya murni.
Pak Lorens dan tuan rumah begitu asyiknya menikmati singkong rebus dengan teh tawar itu, sementara Otong dan isterinya setengah mati memaksa diri ikut menikmatinya demi menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik.
Otong samna sekali tidak tahu jika di Jawa singkong itu saking kreatifnya orang orang di sana, maka mereka olah menjadi berbagai macam penganan enak seperti timus, gethuk, tape, tiwul, combro, lemet, keripik, cenil, sawut, mata roda, klepon singkong serta yang terbaru sekarang ini adalah singkong keju.
Sekitar satu jam setelah makanan kedua itu, maka rombongan pak Lorens dan Otong sekeluarga pun meninggalkan gunung Lawu untuk segera kembali ke Blitar. Kali ini jalur pulang yang mereka tempuh adalah melalui jalur sebelahnya yaitu yang melewati Magetan, Maospati, Madiun, Wilangan, Nganjuk, Kediri barulah sampai lagi ke Blitar.