Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #132

132-Berkunjung Ke Madiun

 

Otong dan anak isterinya menyalami pak Lorens beserta isterinya, karena pagi ini ketiganya mau berangkat menuju Madiun. Ketiganya sudah selesai masa terapinya dan sekarang berencana pulang ke Kalimantan dengan terlebih dahulu singgah di Madiun. Karena itu sesuai dengan pesan pastor Lukas, untuk mengunjungi adiknya di kota Madiun.

“Bapak dan Ibu, banyak terima kasih atas bantuan, pengobatan dan segala kemudahan selama kami di sini. Mohon maaf jika ada sikap dan tingkah laku kami yang kurang berkenan, mohon Bapak dan Ibu jangan simpan di dalam hati,” kata Otong sambil menyalami kedua orangtua itu.

Selama sebulan berada di kediaman pak Lorens dan isterinya itu, Otong sudah merasa mereka berdua sudah seperti orangtua mereka sendiri.

“Kami juga meminta maaf jika ada hal-hal atau sikap kami yang menyakiti hati kalian, jangan simpan di hati juga ya Nak,” kata pak Lorens dan isterinya.

Bavik dan isteri pak Lorens bersalaman lantas berpelukan, kedua wanita itu lalu bertangis-tangisan. Ada beberapa menit keduanya berpelukan seperti itu. Selesai berpamitan, ketiganya lalu memesan taksi untuk mengantar mereka ke stasiun kereta api Kepanjen kidul, Blitar.

Satu jam kemudian ketiganya sudah di dalam kereta api gerbong kelas ekonomi dengan tujuan Madiun, karena mereka membeli tiket kelas ekonomi sehingga biayanya ringan. Dalam kereta api itu, mereka berbaur dengan para penumpang yang lainnya.

Banyak dari para penumpang itu yang memperhatikan mereka bertiga, karena mereka sepertinya agak lain dari yang lainnya.

Pemandangan di sepanjang jalan di kiri dan kanan rel kereta api itu sungguh indah, banyak sawah terhampar menghijau di sepanjang perjalanan mereka. Selain itu juga rumah-rumah penduduk begitu banyaknya, jadi wajarlah jika pulau Jawa itu penduduknya sangat banyak.

Di sepanjang perjalannya juga tampak gunung Liman di sebelah kanan dan gunung Kelud di sebelah kiri. Perjalanan mereka menaiki kereta api ini sepertinya setengah mengelilingi gunung Liman.

Pada saat singgah sebentar di stasiun Kertosono, para pedagang asongan langsung menyerbu masuk ke dalam gerbong kereta kelas ekonomi ini, mereka menawarkan berbagai macam barang dagangan.

Para pedagang asongan itu susah untuk memasuki kelas Eksekutif dan Bisnis, sehingga kelas ekonomi inilah yang menjadi sasaran mereka untuk berjualan. Ada yang menawarkan buah-buahan, ada juga yang menawarkan nasi yang sudah ada lauk pauknya.

“Buah jeruk Pontianak. Buah jeruk Pontianak. Asli. Manis lagi,” teriak seorang laki-laki sambil menjajakan barang dagangannya. “Pak, jeruk Pontianak. Manis. Asli nih,” tawarnya sambil menyorongkan jeruk itu ke arah Otong dan anak isterinya.

Otong mamandang isterinya sambil tersenyum, karena mereka tahu apa yang dimaksudkan dengan jeruk Pontianak.

Karena mereka yang memang berasal dari Kalimantan Barat, sehingga mereka tahu pasti jika itu bukan jeruk Pontianak. Tetapi merupakan jeruk Sambas atau tepatnya di daerah Tebas, karena di sanalah tempat budi daya jeruk itu yang paling banyak.

Jeruk Sambas atau Tebas itu memang aneh, karena yang ditanam di daerah sana itu memang buahnya sangat manis. Sudah beberapa kali orang pernah menanamnya di tempat lain, tetapi meskipun buahnya besar-besar namun buahnya selalu terasa asam.

Itu juga sama kasusnya dengan buah langsat Punggur Kalimantan Barat, meskipun di tanam di tempat lain tetapi tidak akan manis seperti yang ditanam di daerah Punggur.

“Mau ndak, Pak? Manis lho,” tawarnya lagi.

“Mau kah makan jeruk, Dek?’ tanya Otong pada isterinya.

“Bolehlah, sekilo saja,” sahut Athalia. “Sudah lama kita tak memakannya.”

Otong lalu membeli satu kilogram, ternyata sudah berkali-kali lipat lebih mahal dari daerah asalnya.

Syukurlah buah jeruk ini masih agak tahan lama jika dibadingkan dengan langsat Punggur, karena langsat punggur itu hanya dalam waktu tiga hari saja maka warnanya sudah mulai berubah menjadi hitam.

Tiba-tiba seseorang menjajakan nasinya, “nasi…nasi … seribu rupiah saja, sudah ada ayamnya …” teriaknya pada para penumpang di kelas ekonomi itu.

“Pak belikan nasi itu Pak,” kata anak Otong sambil menunjuk ke arah orang yang sedang menjinjing barang dagangannya itu.

“Mau kah kamu makannya, Nak?”

“Mau.”

Otong mengarahkan pandangannya ke orang itu, “benar nih ada ayamnya, Pak?” tanya Otong penasaran, karena di daerahnya nasi ayam itu paling murah juga kisaran dua puluh lima ribu rupiah per porsi.

Lihat selengkapnya